Mohon tunggu...
basuki rahardjo
basuki rahardjo Mohon Tunggu... Dosen

Menulis, tekun, menjalankan syari'at agama secara kaffah, menambah pergaulan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menyibak Adat

19 September 2025   09:24 Diperbarui: 19 September 2025   09:24 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

       Hari panas, setelah udara diperes terik matahari Agustus , namun setelahnya agak sejuk, karena angin laut bertiup cukup kencang. Detik-detik mendebarkan  akan segera menjadi kenyataan. Kumpulan anak-anak muda merapat ke papan pengumuman. Namaku terpampang di daftar yang ditempelkan. Sukacita, karena lolos seleksi. Mataku sembah mau memuntahkan tangis yang sudah lama tertahan. Akhirnya.... cita-citaku menjadi guru terkabul. Karunia-Nya datang juga, alhamdulillah.

       Benar adanya!.  Semua menyenangkan. Bayangan lebat hutan rimba, seolah bayangan rimbunan hijau yang menaungi hidupku. Teriknya udara khatulistiwa, seakan sudah merambati dan membakar semangatku. Hari-hari berikutnya aku bergaul adat istiadat Dayak lewat Basel, Mallinckrot, Tjilik Riwut, dan Encyclopedie, mulai dari: menu makan; mandi cuci; bercocok tanam; dan bermasyarakat.

       Lampu oglangan, aku melamun di teras rumah. Kabar banyaknya makhluk halus dan mejik mengganggu niatku mengembara. Aku terus ingat setiap ronda malam Jum'at,  obrolan teman-teman ngelantur ke dunia hantu. Hantu mendirikan kerajaan di tempat wingit. Figur hantu dapat berupa apa saja, termasuk benda, raksasa, hewan, dan tumbuhan. Tempat yang disenangi pohon besar. Di Kalimantan rimbanya banyak pohon-pohon besar, dan gelap, pasti hantu senang di rimba itu. Hantu ini dunia mejik. Hiiii... bulu romaku merinding, apalagi saat gelap oglangan seperti ini. Aku masih merenung, ketika byyaarr....listrik menyala, silaunya menyoroti nuraniku, sehingga emosiku mengajak tetap menjadi guru.

       Di pelabuhan Tanjung Emas Semarang, aku berkumpul dua belas teman yang akan ditugaskan ke Kalimantan. Sampai di Banjarmasin, Longboat membawa kami mengarungi Sei Barito, menyeberangi anjir dan menelusuri Sei Kahayan. Seperti bus antar  kota di Jawa. Pinggir sungai, cabang-cabang pohon daunnya memayungi membuat teduhan rimbun,  seperti hendak menelan yang melintasinya. Bila longboat tiba-tiba oleng, nyaliku mendahului karam, tenggelam ke dasar sungai yang dalam. Namun, bila di kiri kanan terdapat rumah-rumah dan terapung- apung oleh riak sungai, mengambangkan kembali harapanku. Akh....Kahayan, engkau sulit ditebak apa yang terkandung didalamnya.

      Setelah ada petunjuk penempatan, kami menginap di losmen panggung di tepi sungai. Tak ada yang ditempatkan bersama-sama. Tiap orang satu daerah. Di bawah, Sei Kahayan pasang sungai menggelegar. Alirannya memanjang berkelok-kelok, kecoklatan, tak ada habisnya. Kami berpisah besok pagi, ada keharuan. Tapi tak ada tetes air mata.

       Setelah berpisah, aku naik kelotok bersama enam penumpang yang belum kukenal. Tepian sungai makin curam, menandakan ke arah udik. Batu padas besar mengintip nanar menghadang laju kelotok, mengumpulkan aliran pada jalur sempit, yang menimbulkan arus deras. Kelotok enggang maju, menderu meninggalkan asap tebal, yang segera tersedot rimbunan daun hutan.

       Krieett....!. Subuh, kelotok merapat ke dermaga kayu. Kurang lebih jam sepuluh, aku sampai di rumah Lamin, rumah Pembekal, dengan ojek yang rodanya diberi lilitan rantai motor bekas. Aku melapor nama, asal, hendak mengapa, dan tinggal untuk berapa lama. Pembekal membunyikan garantong dengan tabuhan titih. Tak lama , beberapa orang muncul, mendatangi rumah Lamin Pembekal. Di tangannya, ada-ada saja yang dibawa. Ada durian, duku, manggis, rambutan, cempedak, dan beberapa buah yang aku tidak mengenalnya. Ada pula danum tewun dimasukkan pada tanduk kerbau yang dibersihkan sebagai pengganti gelas. Sambil berdiri, aku dihujani beras kuning, dan dilumuri minyak kelapa.

       Aku menghayati tradisi Dayak. Terlebih setelah melaksanakan adat Hasaki, di mana artinya menggosokkan darah makhluk hidup di anggota tubuh manusia. Darah disemisalkan basuhan mendinginkan, dan menjadi simpul dipersatukannya  seseorang sebagai anggota kerabat. 

       Kiriman buku-buku bekas sekolah menengah pertama kian bertambah. Aku pernah menulis surat pembaca di harian ibukota, bahwa suatu sekolah menengah pertama terpencil di Kalimantan memerlukan buku-buku. Banyaknya kiriman di luar dugaan, dan aku aku menjadi semakin akrab dengannya, karena lembur mendata buku setiap malam. Dia sering menjerangkan kopi, dengan cempedak gorengnya. Putra bungsu Pembekal.      Aku tak hendak dihukum adat, dan memberi batu pisek kepada Rinalae, calon istriku, dengan upacara adat. Hanya direstui surat permohonan kepada orang tuaku, aku melangsungkan Maja Misek, menyerahkan pakaian dan uang sesuai kesepakatan adat. Waktu itu Rinalae membisikkan kata: "Kak....kemanapun abang pergi dohop  mimbit aku akan hete!".

       "Oohh..tentu sayang, karena ikau oloh bawi bahalao." Jawabku mengeja dalam bahasanya.

       Jika ingin melumpuhkan punggung, di kebunlah tempatnya. Kebun Empu, demikian luasnya, dengan aneka jenis macam tanaman: enyoh, duhian, kuyakan, paken, uei,  duku, sungkup, tuwadak, nangka, punsi, dan balimbing. Tapi sebelum lumpuh betul, istriku datang mengajak istirahat. Di bakul ada ikan bakar, nasi putih, kuluban daun ketela, dan sambel terasi yang dapat menegakkan punggung kembali. Apalagi, malamnya istriku sering membuatkan jamu rebusan akar karamunting, di campur dangan kayu tuking siau,  yang khasiatnya menghilangkan llah punggung. Lama kelamaan, aku kecanduan berkebun. Tanganku sudah sekeras tangan orang hutan. Telapak kaki setebal kulit telapak beruang. Kulit tubuh setebal belulang buaya, kebal tempelan Pacet, dan semakin hitam kecoklatan.

       Keterpencilan menampilkan rindu kepada orang tua. Pagi yang membangunkan adalah kegairahan. Gairah simbol kehendak. Kehendak menjadi awal secercah kesehatan, dan menginspirasikan kecintaan. Awal langkahku bukan hanya secuwil waktu terlewati, tetapi bagai kipas untuk bergegas. Kerutinan pekerjaan nenepis sepi, menjalin alur kehidupan harian: menyapa hutan lewat waktu Subuh; meniti hejan,  turun ke sungai nenggandeng anak-anak; makan talas dengan kopi pahit untuk menu pagi; menyuapi anak dengan bubur kangkuyau; mengajar anak-anak sekolah; makan nasi sarene; ikan bakar, gulai umbut dan sambel balacan; menyiangi kebun dan memetik hasilnya; hilir mudik tepian sungai menjala seluyang; menukung dan memancing ikan; menngok tidur istri yang sedang meneteki di kamar sebelah, bila mana perlu merayunya sebentar; dan kembali bangun di waktu Subuh. Lewu tataw je dia rimpang tulang, negeri kaya raya yang tiada melelahkan tulang belulang.

       Aku rasakan matahari cepat memutari hutan. Awal perjalanan hidupku di rumah sering ada tambahan batih. Kelahiran bayi kami. Empu seorang Pembekal, maka setiap kelahiran bayi kami selalu diadakan  upacara manahunan awaw mamalas bayi. Memanggil dukun, mengundang kerabat dekat dan tetangga untuk memberi nama. Saat seperti inilah, aku kambuh kerinduanku pada orang tua. Namun keinginan untuk bertemu teman, orang tua, pelan-pelan terkubur oleh: gemerecupnya bayiku yang menetek; rengekan kakak-kakaknya; pandangan sayu isteriku; lengkingan suara binatang rimba raya; dan ketipak dayung jukung. Keinginan kembali kupendam dengan tindakan ketidakberdayaan. Adat Dayak telah kusibak dalam ajang perkawinan. Aku mengharap anak-anakku lebih mempunyai cita rasa nusantara, dan mereka bertahan dalam simponi belantara kehidupan yang lebih terbuka. Sukoharjo, 19 September 2025. 08.56.

Catatan Bahasa Dayak

longboat= kapal sungai muat 100-an orang;

Lamin= rumah Adat Dayak, berpintu  banyak;

Garantong= sejenis gong di Jawa;

Danum Tewun= minuman sejenis arak;

Hasaki= menggosok tubuh dengan dara

                  untuk masuk menjadi kerabatnya;

Batu Pisek= uang atau lainnya sebagai

                         pinangan;

Maja Misek= bertandang ke rumah gadis

                             Suntuk meminang;

Dobop mimbit  aku akan hete= kemanapun

                                                                 pergi bawa aku

                                                                 kesitu;

Ikau oloh bawi bahalap =  engkau wanita

                              ..                      cantik;

Empu= mertua;

Enyoh= pohon kelapa;

Duhian= durian;

Kuyakan= rambutan;

Paken= durian kulit kuning khas Kalimantan;

Uei= rotan;

Sungkup= manggis;

Tuwadak= cempedak;

Punsi= pisang;

Balimbing= belimbing

 

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun