Rumah kami terletak pada lingkungan yang pluralistis karena tetangga rumah ada  berbagai organisasi massa dan agama. Kiri rumah ada jalan kampung dan kirinya dsa kecil yang beberapa kepala keluarga memeluk Hindu Dharma. Sebelah utara rumah pemeluk Kristen, dan sebelah timur rumah tokoh PKI tingkat kecamatan.
    Di pojok utara rumah kami ada Langgar kecil milik keluarga yang sederhana, yang jama'ahnya dari tetangga rumah tiga orang, satunya diangkat sebagai modin desa. Namanya mBah Suta Simin, seorang buruh tani miskin, tapi rajin beribadah lima waktu ke Langgar kami.
    Mbah Suta Simin melaksanakan shalat lima waktu pasti di Langgar walaupun kadang sering sendirian, karena ayahku bekerja di Yogyakarta dan baru pulang setelah Isa. Saya sendiri waktu Dhuhur dan kadang Ashar baru pulang sekolah di kota Klaten yang jauhnya kurang lebih 15 kilometer bersepeda.
    Menjelang Maghrib, saya biasanya meneriakkan adzan, dan mBah Suta Simin dari jauh kedengaran klothak-klatek memakai trompah kayunya. Trompah kayunya sampai membentuk cekungan tapak kaki, karena setiap hari dipakai. Kami berdua dan kadang berlima shalat Maghrib dan mengaji sampai shalat Isa berjamaa'ah. Di Langgar hanya ada lampu ting kecil minyak tanah digantung di depan langgar.
    Satu kampung yang aktif saat itu dalam beribadah hanya empat orang sesusia saya, yang masing-masing jauh dari Langgar kami. Pada umumnya pemuda kampung lebih suka ria ikut latihan menari yang dilakukan oleh Pemuda Rakyat dan Gerwani. Sedangkan orang tanya kebanyakan anggota Barisan Tani Indonsia.
    Tidak terasa sesuai embrio firasat saya, dan empat teman saya sekampung, sudah tidak suka tari-tarian yang latihannya di timur rumah kami. Rumah sebelah timur kami dimiliki mBah Mangun Irigasi, pendatang dari Surakarta. Kebunya luas, rumahnya besar dan tinggi. Putranya dua, putrinya tiga aktivis Pemuda Rakyat dan Gerwani.Â
    Menjelang 1 Oktober 1965, di kampung kami banyak dilakukan kegiatan oleh Lekra, unit kegiatan dan kesenian dari Partai Komunis Indonesia. Karena kegiatan menari yang menyenangkan itulah, banyak remaja kampung kami tertarik ikut latihan menari, daripada belajar dan beribadah. Tarian yang terkenal saat itu adalah Genjer-genjer yang kabarnya diciptakan oleh Seniman Lekra dari Banyuwangi, Muhammad Arief.
    Keadaan berbeda jauh terjadi saat Ramadhan tiba. Langgar kami dipenuhi jama'ah dari kampung sebelah selatan kampung kami. Tokoh Pemuda yang menjadi Imam  dan memberi kultum di Langgar kami bernama Sukasno yang kelak menjadi guru di SMA Sagan Yogyakarta. (Bersambung).
Sukoharjo, 18 September 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI