Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang sudah di depan mata. Riak pesta demokrasi lima tahun itu kian terasa dengan berbagai manuver politik baik yang dilakukan oleh partai politik maupun tokoh politik nasional secara mandiri.
Tentu saja, manuver politik calon Presiden incumbent, Jokowi Widodo (Jokowi) yang paling mencolok. Hal itu dapat dilihat dari sejumlah partai politik yang sudah menyatakan dukungan terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta dan Walikota Solo itu.
Tercatat, sudah delapan partai politik yang sudah menyatakan dukungan terhadap Jokowi. Diantaranya adalah Partai Nasdem, Partai Perindo, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dan terakhir adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Yang menarik saya kira dari Jokowi adalah ketika berpisahnya dirinya dengan Wakil Presiden (Wapres)-nya saat ini Jusuf Kalla (JK). Sebelumnya, mantan Ketua Umum Partai Golkar itu mengaku tidak bisa lagi maju di Pilpres dengan posisi Wapres. Hal itu disampaikan JK ketika membuka Rapimnas Institut Lembang 9 di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin, 26 Februari lalu (tempo).
Pernyataan JK tersebut adalah sikap yang realistis. Meski bagi saya pribadi, hal itu tidaklah sepenuhnya bersumber dari dalam hati nurani JK. Sebab bagi saya, kekuasaan sejatinya dipertahankan karena untuk mencapai posisi penguasa meski hanya sebagai kosong dua seperti Pak JK tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.
Akan tetapi, pernyataan JK tersebut juga menjadi bagian dari aturan yang mengikat dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 pada pasal 7 yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Meski demikian, celah bagi JK untuk tetap maju pada Pilpres mendampingi Jokowi tidak tertutup rapat. Masih ada opsi yang bisa dipertimbangkan yakni mengajukan hak uji materil (Judicial Review) pasal 7 UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Opsi ini pun menguat setelah Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) non-aktif PDIP, Puan Maharani mengatakan partainya mengkaji kemungkinan JK untuk menjadi calon pendamping Jokowi. Sebagai bentuk keseriusan pernyataannya itu, Puan mengaku tengah mengkaji peraturan dengan melihat UUD dan UU tentang Pemilihan Umum.
Dipihak lain, MK melalui Juru Bicara (Jubir)-nya, Fajar Laksono yang menegaskan bahwa JK tidak bisa lagi mencalonkan diri sebagai Wapres pada Pemilu 2019. "Pasal tujuh itu kan sudah jelas, jangan dibuat remang-remang. Kalau sudah dua kali ya sudah," kata Fajar, Selasa 27 Februari lalu.
Akan tetapi, Fajar juga tetap mempersilahkan siapa pun pihak yang ingin menggugat pasal 7 ke MK. Bahkan, ia mengaku tetap akan memproses gugatan tersebut jika diajukan. "Silakan kalau mau berperkara ke MK, minta sesuatu yang sudah jelas monggo saja. MK akan proses" katanya (CNN).
------------------