Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berhijrah Jangan Berhijrah, Kalau Tiada Artinya

19 Januari 2020   14:19 Diperbarui: 19 Januari 2020   14:19 943
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : ilustrasi nadiyah rizky/twitter

Menarik sekali membaca artikel yang disajikan oleh Ali Zainudin, tentang makna dan fenomena " Hijrah" di artikel pada tautan disini. 

Membaca dengan rasa dan roso, tersirat sebuah kekhawatiran yang sincere dan genuine dari penulis tentang sebuah fenomena yang belakangan ini memang marak terlihat hadir di Indonesia. Sebagian menganggapnya sebagai hal yang baik, namun ga jarang menimbulkan kontra. Isu terkait keyakinan yang masih masuk didalam "tubuh" SARA yang bukan Jaenab nya Si Doel ini memang sepertinya akan langgeng menjadi perihal yang menarik untuk diulik. Selalu seksi dalam balutan yang identik dengan benar versus salah, glamor versus bersahaja dan lain hal ditengah kemajemukan

Demikian pula dengan kata Hijrah sendiri

Meski setuju dengan ruh kajian penulis secara garis besarnya, di letak detil pengejawantahan makna Hijrah, korelasi dengan penggunaan media sosial sebagai sarana baik dakwah maupun wadah, narsisme (paska) Hijrah eksis atau esensial nya, akhirnya justru menginspirasi untuk menulis bertolak belakang. 

Sosial Media Sebagai Wadah Dan Dakwah

Kalau kita runut ke masalah sanad ke ilmuan, ya dibikin simpel aja dulu. Boleh ga sih menggunakan media sosial untuk wadah dakwah secara Fiqh nya? Kalau boleh, meski ada cara yang lebih baik atau afdolnya, ya pikirkan yang baik dulu.

 Jangkauan, sisi positif dari wadah untuk dakwahnya dulu yang diliat. Instan? Mungkin dan bisa jadi. 

Suka tidak suka, ya media inilah yang banyak dipergunakan sekarang ini Apakah berarti yang instan akan kehilangan Maqm nya? Dengan ga ngurangin rasa hormat, tetapi ketidak setujuan tentang media sosial dan kehilangan esensi agama yang dikhawatirkan lebih karena agitasi subyektif ke mereka yang menggunakan istilah Hijrah ini. Ini sudah labeling dan secara langsung 'mengkotak kotakan,sesuai kepentingan'

Pondok Pesantren Versus Hijrah Instan 

Labeling ini menyempitkan pemikiran kita. Jadi kurang terbuka  apabila kekhawatiran bahwa agama akan kehilangan esensi nya dan rawan menimbulkan perdebatan akan suatu yang Khilafiyah .

Karena yang paling pas untuk satu pendalaman agama adalah melalui Pondok Pesantren dimana sanad keilmuan jelas, etika dan adab berdialog jelas dan lain hal lainnya ?

Jawabannya bisa iya dan tidak.

Untuk sanad keilmuan para Ulama yang ada sekarang ini, setuju gas pol kalau Beliau Beliau ini seriusan emang kita kudu mikir semacam "sertifikasi".Sempat tersenyum simpul saat mendengarkan satu kajian di Majlis Ilmu dimana kenapa sih kok Rasulullah SAW turunnya di Jazirah Arab, bukan di Indonesia atau dahulu, Nuswantara.

Karena kualitas orangnya  yang menerima dakwah saja sudah beda duluan. Rasulullah SAW menghadapi kaum yang terkenal 'keras'nya.  Syahdan penduduk Mekkah ini terkenal kerasnya. Iya ya Iya, Enggak ya Enggak.  Daerahnya pun sudah panas duluan. 

Perbandingan simpelnya gini deh.  Perkara mandi wajib habis  jima ( bersetubuh) saja ini penjelasan Rasulullah SAW isampai kudu berulangkali sampai hal yang mendetil untuk menerangkan baik tata cara maupun adabnya. Kena air  yang seger aja disuruh nya susah. 

Nah di Nuswantara, kita udah duluan kenal tentang penyucian dengan "air dari 7 mata air suci yang berbeda".  Istana istana Kerajaan udah pada bahas dan buat Istana Air, padusan dan lain hal yang mewah.sa Gerah ya ga usah disuruh nyemplung.

Disana air susah. 

Dan disini, baru make  nama "Ustadz" dikit aja atau penggunaan " Habib" , yabng berebut nyium tangan udah ribuan. Follower di media sosialnya udah ratusan ribu. 

Nah sekarang ini, benar benar amat sangat diperlukan kejelasan tentang sanad keilmuan para Ulama supaya yang dibawah pun nantinya gak gontok gontokan. Apakah itu kemudian hanya bersandar pada komunitas Hijrah saja? Gak juga kok.  Ini berlaku umum yang bahkan ga jarang Ulama besar yang kita cintai justru tergelincir di dakwah dan wadah mereka di media sosial.

Apa mereka ini tidak pernah di Pondok Pesantren? Kan ya enggak juga.  Apa mereka ini orang orang yang narsis sehingga kerap kali menggunakan media sosial sebagai wadah dari dakwah mereka?

Lantas kemudian, apakah mereka yang menunjukkan eksistensi dengan Hijrah atau bahkan secara kasarnya terlihat hanya di jenggot, cadar atau cingkrang itu menjadikan nya salah?

Ya relatif.  Kembali lagi ni masalah hati. Baik yang melakukan, maupun juga yang melihatnya

Lantas apakah agama akan kehilangan esensinya apabila hanya belajar (seakan) lewat media sosial? Tidak juga. Media sosial hanya menjawab keterbatasan waktu dan menjadi wadah kehausan spiritual, baik secara umum maupun ke generasi millenial Hijrah ini.  Bukan berarti kita langsung gebyah uyah sontak bilang wah mereka ini belajarnya ke "Ustadz Google" mesti iman nya kurang dan pemahamannya ga asik nih. Wong ora mondok kok.

Ketimbang begitu mbok lebih aktif aja menggunakan media sosial buat ngajak dateng ke Majlis Ilmu yang beneran.  Share sedikit sedikit siapa tau akhirnya ada yang mau tergerak hadir.  Ga semua orang punya keinginan buat mondok lah. Realistis. Kalau semua mondok, trus siapa nanti yang bikin telur asin atau mie instan buat anak yang mondok? Yang bikin sarung siapa? Yang nanem padi siapa supaya anak pondok bisa makan tiap hari?

Trus nih. Kalau semua orang mondok, lha anak pondok mau dakwah kemana abis lulus? 

Ojo ngono ah. 

sumber: tangkapan layar dari channel youtube SANTRI GAYENG
sumber: tangkapan layar dari channel youtube SANTRI GAYENG
Positif Memaknai Hijrah

Ayolah. Kita sama sama berusaha memaknai positif  atau melihat sisi positif dari  Hijrahnya seseorang.   Apabila ternyata fuluan banyak menyebarkan tautan dakwah dalam media sosial mereka, anggaplah mereka sedang ingin berbagi panen rambutan yang ranum dari pekarangan rumahnya. Ia melihat, merasakan dan menikmati panen rambutan yang manis nih.

Dan Ia ingin berbagi kepada saudara saudaranya.

Ia ingin berhijab, bercadar sekalipun dan menun jukkan "kecingkrangan" nya sekedar lahiriahnya saja? Darimana kita tahu tingkat keimanan seseorang apabila hanya melihat dari atributnya saja? Ini sama halnya dengan ngejudge seseorang berpakaian minim .  Mereka sekedar narsis ?

Ya biarkanlah. Punya keyakinan saja bahwa kita ini pada dasarnya semua narsis kok. Kalau lebih jauh lagi nih, kekhawatiran tentang mereka yang mengklaim dirinya hijrah ini berafiliasi dengan radikalisme, atau paham yang akhirnya berusaha 'menciderai kemajemukan', ya jangan malah di musuhi.

 Ajak ngobrol lah mereka. 

Apabila kita melihat seseorang  yang Hijrah dan masih dirasa gak pas, ya gak menjadikan pas juga untuk terus malah ngjudge mereka dengan kekhawatiran kekhawatiran  yang kalau boleh minjem istilah keren seorang influencer media sosial sempet ngendikan kalau gak siap dengan perbedaan di media sosial ya jangan main media sosial sekalian.  Pendapatku adalah subyektif murni penerimaanku akan sesuatu hal, tapi pendapatku belum tentu benar.

Kalau mau berdebat di soal yang khilafiyah, ya kita justru menganggap kecil mereka yang lebih dulu nyantri dan para scholars yang sudah berdiskusi jauh lama sebelum kita, dalam wadah bahkan terdekat di konteks Sahabat dari Rasulullah SAW sendiri.

Dakwah itu ngajak, bukan ngejudge. Bagaimana seorang akan mampu mengajak yang lain untuk merapatkan shaf kalau belum belum dia baru aja mau masuk masjid sudah dibilang ( lagi lagi) :

" Hai orang orang beriman. Yang gak atau kurang  beriman enggak hai"

Rapatkan dulu. Nyelaras dulu antara Akal Pikiran, Mulut dan Hati ( niat) seperti fungsi huruf Mim saat kita mengucapkan kalimah  Allahumma. 

Berhijrah jangan Berhijrah, Kalau Tiada Artinya? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun