Mohon tunggu...
Baskoro Endrawan
Baskoro Endrawan Mohon Tunggu... Freelancer - Keterangan apa ?

Like to push the door even when it clearly says to "pull" You could call it an ignorance, a foolish act or curiosity to see on different angle :)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Ganja Medis: Sebuah Pandangan Akan Kasus Fidelis

4 Agustus 2017   12:57 Diperbarui: 7 Agustus 2017   09:07 3649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : marijuanadoctors.com

Fidelis Arie Suderwato akhirnya dijatuhi hukuman 8 Bulan Penjara dengan denda 1 Milliar Rupiah yang setara dengan subsider 1 bulan masa tahanan. Keputusan yang lebih tinggi dari tuntutan Jaksa yakni 5 Bulan dengan denda 800 juta Rupiah. Kasus ini menjadi ramai diperbincangkan netizen, pro dan kontra akan "kriminalisasi" seorang Fidelis yang berusaha memberikan perawatan medis untuk (kini) mendiang Istrinya, Yeni Iriawati.

Salah satu kasus paling kontroversial di penghujung 2017 ini mencuat setelah Badan Narkotika Nasional menangkap Fidelis pada 19 Februari 2017 lalu atas tuduhan kepemilikan 39 batang ganja.

39 batang ganja, yang dipergunakan dirinya untuk mengobati dan merawat mendiang Yeni. Syringomyelia memang tergolong penyakit langka. Dari 2013, keduanya telah berjuang untuk mendapatkan perawatan medis, alternatif lain yang tak banyak membuahkan hasil. Sehingga pada akhirnya upaya keras Fidelis pun membawanya ke treatment Cannabis Oil untuk mengurangi penderitaan Istrinya dan mengobati luka-luka di tubuh Yeni. Fidelis bahkan berhasil melakukan ekstrak minyak dari tanaman ganja hidup yang hanya dipergunakan untuk keperluan medis tersebut.

Tepat 32 hari setelah Fidelis ditangkap oleh BNN, Yeni Iriawati meninggal dunia. 25 Maret 2017, Yeni meninggal setelah tidak mendapatkan perawatan ekstrak minyak ganja di perawatan intensif RSUD Mth, Jaman. Di sini, netizen dengan berbagai macam latar belakang dan sudut pandang pun merasa iba. Dan geram, karena mengetahui bahwa tim Medis yang merawat Yeni menolak untuk memberikan perawatan sesuai dengan arahan dari Fidelis. Yeni meninggalkan 2 anak, yang kini dirawat oleh Sang Nenek selepas FIdelis ditangkap oleh BNNK.

Mendiang Yeni Riawati dengan kedua anaknya. Sumber : detik.com
Mendiang Yeni Riawati dengan kedua anaknya. Sumber : detik.com
Hipokrisi tipikal birokrat baik medis dan hukum diwakili oleh Badan Narkotika Nasional melalui statement resmi dari Kepala Bagian Humas BNN, Kombes Sulistiyandriatmoko, yang mengatakan bahwa semestinya Fidelis dihukum berat apabila mempertimbangkan hukum yang berlaku. 

Berkaca dari kasus Fidelis, BNN menyatakan tidak bisa membuat pengecualian bila ada kejadian serupa nantinya. Jika ada pihak yang menanam tanaman narkotika tanpa hak, maka tetap akan diproses hukum.


Itu adalah secuil pernyataan Kombes Sulistiyandriatmoko seperti yang dilansir oleh beberapa media seperti salah satunya di sini. Meski berkesan tidak berperikemanusiaan karena tidak menimbang latar belakang kasus sendiri, tugas pokok dan fungsi BNN yang lebih dikenal dengan P4GN memang (sayangnya) tidak mencakup perihal penanganan medis atau kasus medis tertentu yang memerlukan penggunaan ganja medis untuk perawatan dan penyembuhan. Disini, tekanan yang diberikan oleh BNN sepertinya membuahkan hasil. Vonis yang lebih tinggi dari tuntutan Jaksa seperti dipengaruhi oleh pernyataan resmi dari Humas BNN sebelumnya.

Sulit juga untuk sekedar "menyalahkan" Jaksa dan Hakim di dalam kasus ini. Atas dugaan kepemilikan, secara prinsip sebetulnya vonis yang diterima sudah melalui pertimbangan matang dan 'relatif' manusiawi. Harus objektif untuk melihat sebuah perihal, dan di negeri yang sejatinya ganja tumbuh dengan subur ini kriminalisasi untuk pengguna ganja memang relatif sangat berat. Secara subyektif, saya justru menyalahkan tim pengacara dari Fidelis yang tidak dapat menghadirkan saksi ahli yang berkompeten menjelaskan korelasi antara penggunaan ekstrak ganja dengan penyakit Syringomelia yang diidap Yeni. Kehadiran seorang saksi ahli medis yang dapat menjelaskan perihal tersebut di persidangan akan memberikan satu sudut pandang baru yang wajib untuk dipertimbangkan. Kini, dan juga nanti, baik untuk kasus serupa maupun yang lain.

Mohon maaf nih. Tapi ocehan para penggiat legalisasi ganja tidak ada artinya. Dekriminalisasi Ganja apa yang sedang kalian perjuangkan di sini? Sebuah tamparan keras buat para penggiat legalisasi apabila pada proses hukum ini tidak bisa menghadirkan bukti dan saksi yang secara medis dapat dipertanggung jawabkan. 

Dhira Narayana dari LGN dan juga Inang Winarso dari Direktur Yayasan Sativa Nusantara, ini tugas keras buat kalian.

Yang lebih menarik, justru datang dari pernyataan seorang Menteri Kesehatan, Nila Moeleok seperti yang dilansir di sini

Nila mengatakan, hingga saat ini belum ada penelitian yang dilakukan terkait manfaat ganja untuk pengobatan. Menurut dia, belum ada pula rencana Kementerian Kesehatan melakukan penelitian meskipun sudah ada usulan dari sejumlah kalangan.

Dengan latar belakang Nina Moelek yang sebelumnya pernah menjadi Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia, dan terlebih pada masa pemerintahan SBY diutus sebagai utusan yang terlibat dalam Millenium Development Goals untuk menurunkan kasus HIV/Aids , pernyataan ini berkesan, mohon maaf, bodoh. Dengan tidak mengurangi rasa hormat, Ibu Nina, dan juga Kementrian Kesehatan, sudah sangat banyak penelitian dan hasil di pasien yang menderita Syringomyelia.

Bukan hanya ada, namun banyak sekali laman yang mendedikasikan riset, pengetahuan dan informasi terkait perihal itu. Satu ada di sini. Pernyataan di dalam tautan yang mengatakan bahwa sifat ganja pada kasus ini hanya "mengurangi rasa sakit seperti halnya morfin" adalah bukti ketidaktahuan (atau pura pura tidak tahu?) seorang Nina Moeloek. Sifat kandungan cannabinoid yang juga bisa menyembuhkan luka dengan aktivasi regenerasi sel juga bagian dari penyembuhan yang diperlukan oleh Nina.

Dan misalkan nih, hanya misalkan saja. Seorang bodoh saya tentu akan bertanya: Apabila ternyata fungsi THC yang diberikan oleh ekstrak ganja ini "hanya sekadar mengurangi rasa sakit seperti morfin", ada dua pertanyaan yang timbul dari sini. Yang pertama adalah apakah sudah pernah ada kajian yang menjelaskan perbandingan secara nyata tentang efek penggunaan penghilang rasa sakit dari ganja dan morfin? Mana yang lebih positif hasil tesnya? Dan yang kedua, apakah hak second opinion dari seorang pasien dan dalam kasus ini penanggung jawab pasien, Fidelis Ari, tidak perlu didengarkan?

Sebagai catatan untuk renungan kembali. 32 hari setelah tidak mendapatkan perawatan dengan ekstrak ganja dan beralih ke perawatan 'intensif' dari RSUD (saya bahkan tidak tahu apa arti intensif bagi kalian) Yeni meninggal dunia. Itu, Ibu Nina, scientifically proven!

Kembali lagi, latar belakang Ibu, dengan tanggung jawab di "so call" Millenium Development Goals untuk HIV/Aids, tampaknya perlu ditarik ulang bujet pencetakan brosur pencegahan HIV/Aids pada masa itu apabila dibandingkan dengan bujet untuk browsing yang sejatinya bisa lebih menambah wawasan tentang bagaimana penggunaan ganja medik untuk membantu perawatan penderita HIV dimana peningkatan daya tahan tubuh dan pencegahan komplikasi dapat dilakukan. Baik natural, maupun preskripsi obat farmasi seperti Marinol, Cesamet atau bahkan bisa lebih jauh menyambangi situs seperti hivequal.org atau langsung belajar dari hasil riset Journal of Leukocyte Biology. 

Jangan katakan tidak pernah ada riset. Seorang Derek Bok pernah berkata, Kalau kamu berpikir bahwa pendidikan itu mahal, coba bandingkan dengan Ignorance. 

Ignorance adalah suatu ketidak mau tahuan, ketidak pedulian, bebal, dungu, kopiq dan samin. Apabila "tidak pernah ada penelitian" ya segera dimulai lah, sebagai satu contoh pelajaran yang dibayar mahal dengan kematian seorang Yeni, dihukumnya Fidelis dan terlebih 2 orang anak yang kini harus kehilangan orang tuanya atas ketidak mau tahuan Kementrian Kesehatan atas hal ini. 

Di balik banyaknya morat-marit dunia kesehatan di Indonesia, minimal, ini yang bisa dilakukan. Mohon maaf apabila kemudian membandingkan dengan Ibu Susi, yang tanpa pendidikan tinggi namun benar benar praktisi bahkan dengan tegas tanpa basa-basi bisa mematahkan pendapat seorang teknokrat perikanan seputar kebiasaan migrasi ikan. 

Mungkin, alih-alih banyak menghabiskan waktu di ruang kelas University of Amsterdam pada saat itu, Nina Moelek bisa lebih banyak mendapatkan ilmunya dari sebuah coffee shop di bilangan red district Amsterdam dengan menikmati kudapan space cake atau inhale exhale lintingan Atjeh strain yang masuktop ten di listatas bersanding dengan Purple Kush atau Orange Mango Strain.

Blunt, anyone?

---

Sumber Utama :
http://nasional.kompas.com/read/2017/04/03/19394691/soal.ganja.untuk.pengobatan.ini.kata.menteri.kesehatan
Medical Marijuana on Syringomyelia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun