Mohon tunggu...
Muhammad Aliem
Muhammad Aliem Mohon Tunggu... Administrasi - ASN di Badan Pusat Statistik.

Hampir menjadi mahasiswa abadi di jurusan Matematika Universitas Negeri Makassar, lalu menjadi abdi negara. Saat ini sedang menimba ilmu di Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Program Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, beasiswa Pusbindiklatren Bappenas. Saya masih dalam tahap belajar menulis. Semoga bisa berbagi lewat tulisan. Kunjungi saya di www.basareng.com. Laman facebook : Muhammad Aliem. Email: m. aliem@bps.go.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Daya Beli Pegawai Negeri

5 Desember 2017   20:44 Diperbarui: 5 Desember 2017   22:57 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pegawai negeri masih menjadi pekerjaan impian bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Mungkin karena gaji bulanan dan uang pensiun di masa tua. Selain itu, mereka melihat pekerjaan ini cukup santai, beban sedikit, kepastian gaji, dan jaminan masa tua. 

Memasuki masa Reformasi Birokrasi (RB), aturan kepegawaian diperketat. Pembayaran tunjangan berdasarkan kinerja. Tak hanya itu, kompetensi mulai dijadikan patokan di beberapa lembaga negara. Mesin absensi online mulai diberlakukan. Sanksi tegas diberikan kepada pegawai yang melanggar aturan yang berlaku. Tak ayal, banyak pegawai yang terkena sanksi, mulai dari hukuman ringan hingga pemecatan. 

Sebuah kebijakan tidak populer dijalankan oleh pemerintah. Penghentian sementara penerimaan pegawai dilakukan. Istilah populernya dikenal dengan nama moratorium. Tidak ada penerimaan pegawai baru. Impian menjadi pegawai negeri harus dikubur oleh jutaan masyarakat Indonesia. Walaupun penerimaan terbatas tetap dilakukan untuk beberapa profesi penting seperti guru, pegawai bidang kesehatan, dan tenaga teknis kementerian. 

Tahun ini, penerimaan pegawai negeri kembali dilakukan oleh beberapa kementerian. Tahun depan mungkin lebih banyak lagi. Ada yang menghubungkannya dengan tahun politik, ada pula yang melihatnya secara realistis bahwa memang negara masih membutuhkan pegawai baru untuk menutupi formasi pegawai yang pensiun. 

Kebijakan penerimaan pegawai memang pantas dipertanyakan, soalnya anggaran negara masih lebih banyak digunakan untuk membiayai kebutuhan pegawai. Belanja pegawai termasuk gaji, tunjangan, dan uang perjalanan dinas dinilai sangat besar. Bahkan masih ada daerah yang APBD-nya dipergunakan untuk belanja pegawai hingga mencapai kisaran 60 persen. Wow. Artinya, anggaran pembangunan hanya sisa-sisa belanja pegawai saja. 

Untuk itu, Kemenpan RB harus memiliki data analisis beban kerja untuk masing-masing lembaga negara, baik pusat maupun daerah. Jangan sampai, penerimaan pegawai hanya menambah beban anggaran pemerintah tanpa diimbangi kinerja yang diharapkan. Penerimaan pegawai harus tepat sasaran dan sesuai kebutuhan. 

Di balik kontroversi  penerimaan pegawai dan pengangkatan honorer menjadi pegawai negeri, pemerintah tidak menaikkan gaji pegawai negeri dalam beberapa tahun belakangan. Pemerintahan sebelumnya memberikan kenaikan gaji sebesar 6 sampai 7 persen dari gaji pokok. Namun hal tersebut telah berubah. Kenaikan gaji tidak terjadi dalam tiga tahun terakhir. Padahal inflasi cukup menguras daya beli. Untung saja, pemerintah masih memberikan gaji ke-13 dan ke-14 (THR). Jika tidak, bisa dipastikan kehidupan pegawai negeri menjadi lebih terpuruk. 

Menyoal daya beli, tidak adanya kenaikan gaji turut membuat pegawai negeri harus mengencangkan ikat pinggang lebih kuat lagi. Terlebih jika Surat Keputusan  Pengangkatan Pegawai Negeri telah 'disekolahkan'  ke bank. Akibatnya, gaji yang diterima sisa 5 koma. Baru tanggal 5, keuangan sudah koma tiap bulannya. 

Penghasilan lebih banyak digunakan untuk membayar hutang, cicilan demi cicilan, dan kebutuhan hidup lainnya. Belum lagi gaya hidup hedonisme yang mulai menjangkiti. Dan kartu kredit pun menjadi jawaban, walaupun gaji sudah tidak mencukupi untuk membayar semua cicilan. Tidak heran jika banyak kredit macet, hingga harus menjual aset pribadi untuk menutupi hutang. 

Dikutip dari laman Korpri Nasional (5/12), Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM)   Kepulauan Bangka Belitung  mendapati sekitar 95 persen ASN sudah menggadaikan SK pengangkatannya ke bank. Kejadian serupa tidak jauh berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia. 

Tidak adanya kenaikan gaji dan beban cicilan yang terus membengkak, menjadikan daya beli pegawai negeri tertekan. Terjadi kenaikan harga sedikit saja, maka pengaruhnya sangat besar bagi daya beli mereka. Profesi pegawai negeri memang menjadi primadona, padahal pada kenyataannya, mereka berada pada kelas menengah ke bawah. Jika ada bantuan, mereka tidak termasuk penerima. Padahal pengurangan subsidi yang dilakukan pemerintah sangat mempengaruhi mereka yang berada pada kelas menengah termasuk pegawai negeri.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun