Hampir setiap pemilu hal ini sering terjadi. Mungkin tidak hanya dilingkungan saya saja, melainkan hampir disemua lapisan masyarakat. Saya sering menulis status di akun sosmed saya, agar kita masyarakat awan jangan terlalu baber atau jangan terlalu militan untuk menjagokan atau membela pilihannya. Karena hal tersebut bisa sakit hati yang mendalam jika jagoannya tidak menang dalam pemilu. Â
Contoh kongkrit dilingkungan saya, mereka yang menjagokan 01 berseteru dengan 02 dan 03 dan begitunya 03 berseteru dengan 01 dan 02. Mereka bersikukuh kalau jagoannya lah yang pantas menang dan pantas menjadi pemimpin. Sementara masing-masing dari mereka pun sama-sama punya pandangan yang sama terhadap jagoannya dan merasa yakin pasti menang.
Namun, tidak mungkin ketiga calon pemimpin ini akan memang secara bersamaan, bukan? Pasti ada yang kalah. tapi, dimana-mana yang kalah pasti tidak akan pernah iklas. Tidak pernah legowo mengakui kekalahannya. Aneka alibi dan umpatan-umpatan pasti akan terucap.
Saat pencoblosan digelar (14 Februari) kemaren, ketiga rekan saya masih dengan yakin kalau masing-masing jagoan mereka pasti menang. Namun, apa yang terjadi? Ketika 02 secara quick count dinyatakan unggul dari 01 dan 03, maka pendukungnya yang militan mencak-mencak. Sumpah serapah terjadi sampai-sampai mereka hampir adu jotos.
"Hei, apa sih yang kalian ributkan? Siapa pun yang menang kita toh masih di Negara yang sama dan akan di pimpin oleh pemimpin yang sama. Harus legowo, lah.." ucap saya menenangkan para pria yang usianya sebenarnya sudah tidak muda lagi.
Saya mencoba memberi pencerahan kalau sebagai rakyat biasa, kita tidak punya pengaruh besar dalam kemenangan atau kekalahan pesta demokrasi ini. Karnea, kalau pun jagoan kita menang, toh hidup kita akan tetap seperti ini. Masih mencari uang dengan susah payah. Masih tidak akan bisa bertemu secara langsung dengan jagoannya. Kecuali ada pengaruh besar dalam hidup kita baru deh kita bergejolak.
Pesta Demokrasi yang digelar 5 tahun sekali ini selalu meninggalkan momok yang menakutkan bagi saya. Karena, di era pilpres Jokowi 10 dan 5 tahun lalu  saya sampai harus bermusuhan dengan sahabat gara-gara perbedaan pilihan. Mereka memusuhi saya karena tidak sejalan dengan mereka. Meski sahabat yang sudah terjalin belasan tahun, ternyata bisa porak poranda gara-gara pilpres. Luar biasa bukan?
Tragisnya, Â salah satu teman saya yang masih mendiamin saya telah menghebuskan nafas terakhirnya gara-gara sakit namun hubungan kami masih belum baik-baik saja. Sangat saya sesalkan. Kenapa, kita yang rakyat biasa selalu memakai sepenuh perasaaan dan harapannya untuk sebuah pilihan? Bahkan sampai rela mengenyampingkan akal sehat dan berfikir positif untuk tetap menjaga silaturahmi persahabatan atau persaudaraan.
Jujur, meski pilihan saya kalah dalah pemilu tahun ini, tapi sedikit pun tidak ada terbersit rasa kecewa atau murka. Tugas saya sebagai pemilih sudah selesai dan saatnya yang terpilih harus menjalankan tugas dan amanah dari rakyatnya.