Tak semua orang pulang ke rumah dengan senyum. Tak semua anak memanggil "Ayah" dan "Ibu" dalam satu tarikan napas. Di luar sana, ada banyak rumah yang sunyi, kosong, atau malah gaduh setiap hari. Rumah yang seharusnya menjadi tempat paling aman, justru menjadi sumber luka yang sulit sembuh.Â
Keluarga yang tidak utuh bukan hal asing hari ini. Tapi mengapa masih banyak orang merasa bersalah karena keluarganya tidak sempurna? Seolah-olah keluarga harus selalu lengkap, rukun, dan harmonis agar layak disebut "rumah".Â
Padahal kenyataannya, banyak rumah yang berdiri hanya karena tembok, bukan karena kasih sayang.Â
Kenyataan yang Tak Perlu Disangkal
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, jumlah perceraian di Indonesia mencapai 447.743 kasus. Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya. Artinya, dalam satu tahun, lebih dari satu juta anak bisa jadi terdampak oleh perceraian orang tuanya. Itu belum termasuk kasus keluarga yang secara hukum utuh, tapi secara emosional berantakan ayah dan ibu tinggal serumah tapi tak saling bicara, atau anak-anak yang tumbuh tanpa pelukan. Â
Lebih dari sekadar angka, ini adalah kenyataan yang dihidupi oleh banyak orang. Tapi anehnya, dalam banyak percakapan, mereka yang berasal dari keluarga "bermasalah" sering kali dianggap tak layak bicara tentang kebahagiaan, cinta, atau masa depan.Â
Padahal, siapa bilang luka membuat seseorang jadi kurang layak?Â
Retak Bukan Berarti RuntuhÂ
Ada anggapan bahwa anak dari keluarga broken home pasti tumbuh jadi pembangkang, keras kepala, atau kurang kasih sayang. Mungkin tidak sepenuhnya salah, tapi jelas terlalu menyederhanakan.Â
Penelitian dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menyebutkan bahwa anak dari keluarga tidak utuh memang berpotensi mengalami gangguan psikologis seperti kecemasan atau depresi. Namun, hasilnya sangat bergantung pada lingkungan sekitar, support system, dan bagaimana anak tersebut dibimbing atau didampingi.Â