Transformasi digital dalam pendidikan Indonesia mengalami percepatan signifikan dalam lima tahun terakhir. Platform daring, kecerdasan buatan (AI), dan sistem pembelajaran berbasis data menjadi bagian dari keseharian siswa dan guru. Namun, di balik kemajuan ini, muncul pertanyaan mendasar: apakah pendidikan kita masih menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan, atau justru menjauh dari esensinya?
Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menunjukkan bahwa pada tahun ajaran 2023/2024, sebanyak 18.899.557 siswa menerima bantuan Program Indonesia Pintar (PIP), yang memungkinkan mereka untuk melanjutkan pendidikan tanpa terbebani oleh biaya BPMP Provinsi Sumatera Utara. Namun, peningkatan akses ini belum diiringi dengan penguatan aspek humanistik dalam pembelajaran.
Studi oleh Khairuddi (2023) menyoroti bahwa pendidikan humanistik menekankan pada pengembangan karakter, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis, yang merupakan fondasi untuk menghadapi kompleksitas dunia modern Jurnal UM Tapsel. Namun, implementasi teknologi dalam pendidikan seringkali lebih fokus pada efisiensi dan standar penilaian, mengabaikan aspek-aspek tersebut.
Integrasi teknologi seharusnya memperkuat relasi antarmanusia dalam proses pembelajaran. Namun, survei oleh Rask.ai pada tahun 2024 mengungkapkan bahwa 62% responden merasa bahwa konten pembelajaran yang dihasilkan oleh AI kurang mampu membangun keterlibatan emosional dibandingkan dengan materi yang dibuat oleh manusia AI Video Solutions. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi belum sepenuhnya mampu menggantikan peran guru dalam membentuk hubungan yang bermakna dengan siswa.
Di sisi lain, laporan dari Jurnal Pendidikan dan Kependidikan (2023) menekankan bahwa integrasi teknologi dan humanisme menjadi krusial dalam meningkatkan kualitas pendidikan tinggi, dengan memanfaatkan teknologi untuk memfasilitasi akses terhadap sumber daya pendidikan dan pengalaman belajar yang lebih dinamis, sambil memperhatikan nilai-nilai humanistik seperti pengembangan karakter dan kepekaan sosial Jiip. Namun, tantangan terbesar terletak pada bagaimana mengimplementasikan prinsip-prinsip ini dalam praktik sehari-hari di kelas.
Pendidikan yang humanis dan berbasis teknologi tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Keduanya harus saling melengkapi: teknologi mempercepat proses, sementara humanisme menjaga makna dan tujuan dari proses tersebut. Guru perlu dibekali dengan literasi digital yang kuat, namun juga dilatih untuk tetap menjadi pendidik yang empatik. Siswa pun perlu diberi ruang untuk bereksplorasi dengan teknologi sekaligus dibimbing agar tetap memiliki kepedulian sosial.
Masa depan pendidikan bukanlah memilih antara manusia atau mesin. Masa depan pendidikan adalah ketika teknologi memperkuat kemanusiaan, bukan menggerusnya. Jika pendidikan kehilangan kemanusiaannya, maka semua kecanggihan teknologi hanya akan mencetak generasi yang tahu banyak hal, tapi tak paham untuk apa mereka belajar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI