Mohon tunggu...
Asep Wijaya
Asep Wijaya Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengajar bahasa

Penikmat buku, film, dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Satu Hari Nanti: Bukan Semata Film Beradegan Tabu

8 Desember 2017   17:20 Diperbarui: 8 Desember 2017   17:28 3193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
entertainment.kompas.com

Selain untuk menghibur, sebuah film tentu ingin menyampaikan pesan. Namun adakalanya, pesan itu disampaikan secara implisit kepada penonton. Lewat cara penyampaian itu, pencipta film, secara sengaja atau tidak disengaja, mau memberikan ruang interpretasi tanpa batas kepada khalayak atas produk sinematik garapannya.

Meski begitu, tidak sedikit penonton yang kadung terlena pada tiap fragmen tayangan tanpa coba menyelisik pesan di baliknya. Akibat yang mungkin muncul: penilaian atas produk sinematik tidak komprehensif. Sebab, sumber penilaian cenderung hanya mengandalkan aspek lahir seperti aneka peristiwa atau kejadian pada film ketimbang aspek batin seperti impresi yang muncul dari jalinan peristiwa dan perkembangan karakter para tokohnya.

Kendati demikian, model penilaian semacam itu bukan merupakan suatu kesalahan. Setiap orang tentu memiliki interpretasi yang unik atas setiap produk sinematik yang telah ditonton. Tidak terkecuali interpretasi yang mungkin muncul dari film garapan Salman Aristo berjudul Satu Hari Nanti.

Berlabel film untuk konsumsi mereka yang berusia 21 tahun ke atas, Satu Hari Nanti relatif banyak menampilkan adegan yang dianggap tabu bagi industri perfilman Indonesia. Potongan laku saling cumbu berujung ciuman panas hingga aksi umbar cinta di atas ranjang tersaji dalam film berdurasi dua jam lebih ini.

Barangkali, adegan tabu semacam itu merupakan sebuah kelaziman di Interlaken, Swiss yang menjadi lokasi penggarapan film. Atas fakta itu, Alya (Adinia Wirasti), Bima (Deva Mahenra), Din (Ringgo Agus Rahman), dan Chorina (Ayushita Nugraha), selaku tokoh utama cerita, seperti terjebak dalam permainan asmara dan aneka aksi tabu di kota dekat Pegunungan Alpen tersebut.

Alya, seorang mahasiswi yang tengah belajar mengenai cokelat, seolah ditampilkan memiliki masalah yang lebih besar daripada tiga tokoh lain. Selain menemui jalan buntu atas hubungan asmaranya dengan Bima, ia juga harus berurusan dengan harapan ayahnya (Donny Damara) yang sulit terealisasi.

Adapun Bima hanya sibuk mengurusi cita-citanya menjadi musikus hebat sejak kedatangannya pertama kali di Swiss dan tinggal bersama Alya. Sementara pasangan lain yakni Din dan Chorina, masing-masing, relatif hanya berperan sebagai pemandu wisata yang menyimpan asa untuk menerbitkan novel dan manajer hotel yang mau memiliki pasangan setia.

Tetapi konflik asmara antar empat tokoh itu tak terelakkan. Di antaranya, asa untuk beroleh pasangan idaman, perselingkuhan hingga usaha untuk mengoreksi kesalahan yang telah diperbuat. Kata "koreksi" inilah yang barangkali menjadi pesan cerita untuk film Satu Hari Nanti. Sebuah koreksi yang berujung pada kemunculan kesempatan kedua atau mungkin kesempatan lain.

Atas pesan itu, saya menduga, serangkaian adegan tabu yang mengisi sebagian fragmen film merupakan representasi dari kesalahan atau kekhilafan yang tergolong besar pada diri seseorang saat menjalani hidup. Kesalahan yang seringkali menghilangkan akal sehat hingga terbersit perasaan "tidak akan ada kesempatan lain".

Namun empat tokoh Satu Hari Nanti seolah berupaya untuk menabrak anggapan ketiadaan "kesempatan kedua" itu setelah mengalami serangkaian peristiwa dan kejadian. Peristiwa yang melahirkan refleksi dan keputusan berani untuk mengambil sikap menghadapi kenyataan.

Dengan pesan kuat semacam itu, saya berharap akan menyaksikan sejumlah peristiwa penting yang mengubah karakter tokoh yang berbeda dari penampilannya di awal cerita. Namun aneka peristiwa dan kejadian yang ditayangkan seolah belum cukup kuat bagi perubahan karakter para tokohnya seperti yang tampak di akhir cerita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun