Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Lahir di Metro Lampung. Pendidikan terakhir, lulus Sarjana dan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pakaian Transparan

21 Januari 2024   07:20 Diperbarui: 21 Januari 2024   07:51 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pakaian transparan? Ya kelihatan semua dong lekuk liku tubuh manausia, bila pakaian tersebut dikenakan. Ntar dulu, jangan cepat -- cepat berpikiran ngeres ( kotor ). Ingin mengetahui apa yang dimaksud dengan pakaian transparan ini, mari diikuti uraian selanjutnya menggunakan rasa yang merasakan atau roso pangroso agar tidak gagal paham, dan yang akhirnya dapat memahami dan mengenakan pakaian transparan tersebut.

Untuk membuka pokok bahasan ini penulis sampaikan sebuah tebakan ringan, apa beda antara manusia dengan binatang? Singkat saja jawabannya, manusia mempunyai hati nurani atau roso pangroso, sedangkan binatang tidak. Oleh karena itu bila seorang manusia diminta untuk berjalan ditengah keramaian tidak memakai pakaian, sudah barang tentu tidak mau. Artinya, manusia mempunyai rasa malu, karena manusia memang mempunyai rasa yang merasakan atau roso pangroso.

Sebaliknya binatang. Binatang tidak mempunyai rasa malu, karena binatang memang tidak mempunyai rasa yang merasakan atau roso pangroso. Konsekuensinya walau tanpa busana berjalan ditengah keramaian santai - santai saja, dan tidak merasa malu. 

Indonesia adalah negara besar yang sama -- sama kita cintai, dan banggakan terdiri lebih dari tujuh belas ribu pulau, dan tidak sedikit jumlah suku bangsa yang mendiami negeri ini. Dengan demikian memiliki adat, dan budaya yang berbeda satu dengan yang lainnya. Mari saling menghormati adat, dan budaya yang ada di Nusantara ini. Tidak perlu mengatakan adat dan budayaku yang baik, sedang adat dan budayamu jelek. Kalau hal seperti itu yang ditumbuh kembangkan di masyarakat, tentu akan terjebak tipu daya iblis, setan dan sebangsanya melalui hawa nafsu yang ada dalam diri setiap manusia. Akhirnya diri sendirilah yang akan menjadi budak iblis, setan dan sebangsanya. Oleh karena itu hendaklah seseorang berupaya agar tidak menjadi budak sang wadag, yang nyata-nyata ketempatan hawa nafsu.                                       

Contoh sederhana saja, pakaian misalnya. Masing-masing daerah, mempunyai pakaian kebanggaannya sendiri-sendiri. Sudah barang tentu menurutnya baik, tetapi menurut orang lain  belum tentu  dikatakan  baik. Yang  penting: tidak saling mencela, tidak saling menjelekkan, tidak saling mencemooh,  justru  yang harus ditumbuh -- kembangkan hendaklah saling menghormati, dan saling menghargai adat, dan budaya diantaranya.

Berbicara tentang pakaian, dapat kita pergunakan untuk mengukur kemampuan berlaku adil terhadap diri kita sendiri. Pada dasarnya pakaian dapat diartikan, pertama sebagai pembeda antara manusia dengan binatang. Kedua, pakaian untuk menutup aurat. Ketiga dan seterusnya pakaian itu untuk meningkatkan rasa percaya diri dalam pergaulan, mempercantik atau memperkeren diri seiring dengan perkembangan mode pakaian terkini, dan lain -- lain.

Hendaklah kita selalu ingat ( Jawa = eling ) bahwa manusia itu terdiri atas 2 unsur besar, yaitu unsur lahiriah atau wadag manusia yang bersifat nyata, dan unsur batiniah manusia berupa Ruh yang ditiupkan langsung oleh Allah ke dalam wadag manusia, dan bersifat gaib. Apakah dengan pakaian yang demikian keren dan indah bagi sang wadag, secara otomatis juga memperkeren dan memperindah penampilan batiniahnya juga? Tidak, sama sekali tidak.

Padahal Allah menciptakan jagad raya atau semesta alam seisinya ini terdiri atas: 2 unsur, atau 2 kondisi, atau 2 sifat yang berpasangan, dan harmonis atau seimbang.  Inipun masih luput dari pengamatan, dan atau pengajian kita selama ini. 

Memang benar pakaian itu indah, tetapi baru untuk satu sisi saja yaitu sisi lahiriah. Sedangkan sisi batiniah tidak pernah dipikirkan, apalagi memberinya pakaian yang keren dan indah layaknya memperlakukan sang wadag. Selama ini tampaknya manusia terlena, dan terbius oleh keinginan -- keinginan sang wadag saja. Lupa akan keinginan apalagi memberi pakaian keren, dan indah bagi batiniah atau atau sang gaib, atau boleh juga disebut Sang Suci, dan  yang oleh leluhur tanah Jawa disamarkan dengan sebutan Satrio Piningit. Jadi dalam hal berpakaian selama ini, umumnya kita juga belum dapat menyeimbangkan kebutuhan diri kita sendiri.

Karena itu mari kita awali dengan pembiasaan atau pembudayaan baru, dan berupaya keras untuk  menyeimbangkan kebutuhan sang wadag dengan kebutuhan sang gaib kita. Sudah barang tentu upaya penyeimbangan tersebut tidak dapat diperoleh secara instant, namun memerlukan waktu, dan kesabaran serta niat tulus dalam menggapainya.

Dengan demikian secara bertahap dan pasti kita akan dapat memberi pakaian yang baik, dan indah kepada diri sendiri baik dipandang dari sisi lahiriah maupun dari sisi batiniah. Mengingat secara konstitusional diri manusia terdiri dari atas 2 unsur besar yaitu unsur nyata yang tampak oleh mata, dan unsur gaib yang tidak tampak mata yang seharusnya mendapatkan perhatian sama, dan seimbang dalam hal berpakaian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun