Mohon tunggu...
Bang Nasr
Bang Nasr Mohon Tunggu... Dosen - Nasruddin Latief

Bangnasr. Masih belajar pada kehidupan, dan memungut hikmah yang berserakan. Mantan TKI. Ikut kompasiana ingin 'silaturahim' dengan sesama.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Renungan Puasa: Makna Lailatul Qadar

3 September 2010   12:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:28 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kosakata 'Lailatul Qadar' pada sepuluh hari terakhir Ramadhan pasti membanjiri media, baik melalui tulisan maupun melalui ceramah para ustaz di masjid-masjid dan pengajian. Seolah wacana Lailatul Qadar menjadi magnet tersendiri bagi setiap Muslim bahkan mendambakan meraihnya dengan berusaha menjadi orang yang terbaik. Lailatul Qadar selalu merujuk kepada sebuah surah dalam Al-Qur'an yang juga bernama surah al-Qadr dimana dalam surah tersebut disebutkan bahwa lailatul qadar hanya ada dalam bulan Ramadhan dan malam seribu bulan yang terbaik. Lalu juga dijelaskan dalam hadits bahwa lailatul qadar didapat pada malam-malam ganjil (likur) yaitu malam ke-21, 23, 25, 27 dan 29. Ketika kecil di kampung dulu biasanya para orang tua menghidupkannya dengan menyalakan penerangan menggunakan obor (maklum belum ada listrik....) dan mengadakan qiyamul lail di Mushalla dan di langgar kampung. Para ustaz juga memberikan ceramahnya bahwa tanda-tanda adanya lailatul qadar adalah esoknya matahari terbit dengan cahaya dan panas yang nikmat, tidak panas dan juga tidak dingin, dsb, yang erat hubungannya dengan fenomena alam. Apakah demikian?? Peristiwa yang terjadi pada Nabi Muhammad saw di Madinah memang betul terjadi dengan turunnya hujan pada saat itu dimana Nabi shalat, jadinya menyentuh lumpur (belok) pada saat sujud. Maklum masjid Nabawi tidak megah seperti sekarang. Saat itu hanya bermodalkan batang kurma dan atapnya pun pelepah kurma juga sehingga bila hujan turun jadi berlumpur. Pada saat itulah Nabi bersabda turunnya Lailatul Qadar. Namun yang harus dipahami dari peristiwa itu dan konteks hujan sehingga sujud dalam keadaan berlumpur adalah makna kembali kesadaran kepada Keilahian (kembalinya manusia ke asalnya yaitu tanah yang berbentuk lumpur), setelah diperoleh penyucian jiwa dari segala dosa selama sebulan penuh. Atau boleh dikatakan manusia pada saat itu telah mendapatkan semangat, spirit dan etos 'reborn' (lahir kembali bagaikan bayi yang lahir tanpa noda dan dosa). Indikastornya apa? Bahwa kehidupan dan perilakunya lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Jadi, inti dari Lailatul Qadar itu adalah transformasi diri kita akan adanya semangat Ketuhanan dan kesadaran kehadiran ketuhana dalam jiwa (omni present) dan sepanjang hidup menjadi lebih baik. Makna dari ayat 'Hatta Mathlail Fajr", dimaknai sebagai hingga Fajar kehidupannya menjemput, sampai akhir hayatnya menjadi lebih baik. Bukan dimaknai sebagai 'hingga fajar menjelang dengan susasna yang damai", walau itu betul makna literalnya sebagaimana yang sering diceramahkan para ustz. Jadi, bisa kita tebak dengan mudah, manakah seseorang memperoleh Lailatul Qadar. Lihat saja perilakunya. Apakah ada perubahan kebaikan pada pola hidupnya atau tidak. Bila tidak, tetap saja masih korupsi, menyimpang, dll, jangan ngaku-ngaku telah mendapatkannya. Salam,

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun