Mohon tunggu...
Ardi Bagus Prasetyo
Ardi Bagus Prasetyo Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang Guru Muda, ASN, lulusan Universitas Mulawarman tahun 2020, Pendidikan, Biografi, sepakbola, E-sport, Teknologi, Politik, dan sejarah Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ketika Sekolah dan E-sports Dihadapkan dalam Situasi Dilematis

26 September 2022   08:00 Diperbarui: 28 September 2022   15:45 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bermain game PC. (Dok. Shutterstock via kompas.com)

Jika saya melakukan sebuah jajak pendapat secara lisan, Seberapa wellcome anda dengan esport? melihat realita saat ini, sepertinya Indonesia sedang gencar-gencarnya membuka diri terhadap perkembangan dan kemajuan zaman. 

Bidang pendidikan dan olahraga misalnya mulai memberikan segala perhatian melalui para pemangku kebijakan khususnya dalam ranah esport. 

Beberapa waktu lalu kita mungkin pernah mendengar Timnas esport Indonesia berhasil menjuarai cabang olahraga esport PUBG Mobile dengan raihan medali emas di ajang Sea Games Hanoi Vietnam 2021. 

Selain berhasil menyabet medali emas pada cabang esport Mobile Legends, Indonesia juga berhasil meraih medali perak dari cabang esport Mobile Legends pada ajang yang sama. 

Berdasarkan raihan tersebut, tentu kita sudah cukup mengetahui bahwa Indonesia melalui pemerintah telah memberikan tempat serta membuka peluang bagi para atlet cabang esport untuk berpartisipasi dan memberikan penampilan yang terbaik untuk negara. 

Indonesia sendiri adalah salah satu pasar industri gim terbesar di dunia. Terutama gim mobile atau permainan video yang dimainkan melalui telepon seluler, komputer tablet, ataupun konsol. 

Berdasarkan laporan We Are Social, Indonesia menjadi negara dengan jumlah pemain video game terbanyak ketiga di dunia dengan presentase mencapai 94,5% pengguna internet berusia 16-64 tahun di Indonesia yang memainkan video game per Januari 2022. 

Tim nasional Esports Indonesia yang berlaga pada SEA Games 2019. (Dok. IESPA via kompas.com)
Tim nasional Esports Indonesia yang berlaga pada SEA Games 2019. (Dok. IESPA via kompas.com)

Dengan jumlah pengguna yang begitu besar jumlahnya, mengapa polemik tentang masuknya esport dapat terjadi khususnya di Indonesia? 

Ada beberapa faktor yang menyebabkan esport ada mayoritas yang menerima dan ada pula yang tak menerima kehadirannya dalam tatanan kehidupan sebagian masyarakat di Indonesia. 

Saya mencoba mengadakan beberapa riset kecil-kecilan untuk mengetahui seberapa besar esport dapat diterima khususnya di sekolah. Dari 10 orang siswa yang ditanya secara random hampir sembilan orang menyebutkan bahwa mereka semuanya senang bermain esport. 

Satu orang justru tak menyukainya. Alasan dari kesembilan orang yang menyukai sebagian besar ingin menjadikannya sebagai hobi mengisi waktu luang, dan beberapa di antaranya justru menjawab mereka ingin mencapai tujuan tertentu semisal mencoba memahami games tersebut dan sebagian bercita-cita menjadi top player. 

Tak ada yang salah memang jika mereka menyampaikan alasan mengapa mereka memilih tetap bermain game. Sementara dari beberapa guru yang saya mintai pendapat dan jawaban setuju atau tidak setuju, dan jawabannya justru banyak yang setuju dengan alasan.

Setuju tanpa alasan, tak setuju dengan alasan, bahkan ada yang sekedar ikut saja yang penting itu baik untuk peserta didik. Lalu apa alasan yang mendasari mengapa sekolah dan esport sering berbenturan?

Cara Pandang (Mindset)

Faidan salah satu atlet esport cabang Pro Evolution Soccer (PES) Asal Jawa barat. (sumber: carapandang.com/read-news/Rizky)
Faidan salah satu atlet esport cabang Pro Evolution Soccer (PES) Asal Jawa barat. (sumber: carapandang.com/read-news/Rizky)

Alasan  mengapa esport cenderung tak diterima sebagian masyarakat khususnya sebagian besar para orang tua, adalaha pengaruh efek atau dampak kecanduan yang ditimbulkan, menurunnya kepekaan, gangguan kesehatan, dan lain sebagainya. 

Dampak-dampak tersebut tentu saja tak terjadi secara instan  melainkan terbentuk dalam kurun waktu yang lama. 

Para pegiat esport terkadang harus dihadapkan oleh jalan terjal untuk dapat mengedukasi hal-hal lain yang dapat diperoleh dari aktivitas bermain game. Masalah lainnya yang muncul adalah perbedaan cara pandang terhadap game khususnya antara sekolah negeri dan swasta.

Tak dapat dipungkiri, perbedaan pandangan (mindset) terkait esport memang terjadi di dunia pendidikan. Jika di sekolah swasta, kita tentu mengetahui betapa sekolah berbasis swasta menerima segala hal yang berhubungan dengan teknologi tak terkecuali video game. 

Mereka bersedia mengakomodasi segala hal yang tujuan utamanya hanya satu yakni memajukan esport di sekolah mereka. 

Komitmen tersebutlah yang banyak ditunjukkan sebagian besar sekolah swasta semisal SMAS Budi Bakti Samarinda yang sekitar dua bulan lalu mampu mewakili Samarinda dalam ajang Playoffs UB-Mabar National Championship. 

Beberapa sekolah swasta di Indonesia yang berhasil memajukan esport dalam bagian pengembangan pendidikan yakni SMA 1 PSKD, Bina Bangsa, SMA 1 Taman Madya 1 Jakarta, dan masih banyak lagi. 

Yang lebih mencengangkan lagi, ada beberapa sekolah yang berani mengambil langkah atau kebijakan dengan memasukkan esport dalam sistem kurikulum di sekolah. Namun tentu saja, bukan hanya sekedar memasukkan. 

Melainkan juga mengadakan pembinaan, seminar, hingga menyediakan sarana bootcamp atau TC bagi para atlet pelajar esport. 

Alih-alih mengikuti rekam jejak sekolah berbasis swasta, beberapa sekolah berbasis negeri justru mengeluarkan kebijakan yang beragam. 

Ada yang mulai mengadakan pembinaan intens dan serius kepada para pelajar yang serius ingin menjadi atlet esport, ada pula yang tak menerima hingga sekedar ikut-ikutan tanpa pernah mengetahui apa nilai edukasi serta manfaat dampak buruk serta cara meminimalisasinya. 

Sekolah berbasis negeri cenderung tak menerima masuknya esport dengan alasan bahwa esport hanya akan menurunkan semangat belajar, menggeser budaya dan lain sebagainya.

Beberapa alasan tersebut memang dapat diterima dan sangat mungkin terjadi, namun kita juga perlu memelajari dan memahami apa yang harusnya menjadi keinginan dan minat anak atau peserta didik sembari sekolah mencoba memfasilitasi dan mengakomodasi apa kebutuhan mereka. 

Sistem Pembinaan yang Perlu Disosialisasikan

Esports bagi pelajar. (sumber: rm.id)
Esports bagi pelajar. (sumber: rm.id)

Alasan berikutnya adalah sistem pembinaan yang belum terarah. Sering terjadi sekolah justru mengeksekusi sebuah kebijakan justru tanpa memikirkan dan memperkirakan pertimbangan apa yang nanti akan dihadapi. 

Salah satunya adalah tentang arah esport ke depan dibuka di sekolah. Lagi-lagi sekolah perlu mengadakan sosialisasi dan pertemuan kepada seluruh stakeholder guna terciptanya pembinaan esport yang baik dan berkelanjutan.

Sekolah dapat mencoba beberapa kebijakan dengan mengadakan semacam survei terkait antusiasme siswa dan orang tua terkait esport. 

Dengan membuka jalan dialog bersama orang tua peserta didik sekaligus memberikan edukasi terkait esport maka kita akan mendapatkan beberapa hal yang tak hanya negatif tentang esport khususnya bagi peserta didik. 

Pada dasarnya setiap hal yang berkaitan dengan pengembangan minat dan cita-cita anak pasti ada alasan mengapa itu perlu dilakukan. 

Memberikan gambaran jangka panjang, memberikan keluwesan dalam memahami seluk beluk teknologi melalui video game, hingga memfasilitasi anak agar dapat menjalankan minat dan bakat sesuai kemampuannya termasuk dalam ranah esport sekalipun.

Beda Zaman Beda Kebijakan

Kompetisi esports pelajar.  (sumber: radarbali.jawapos.com)
Kompetisi esports pelajar.  (sumber: radarbali.jawapos.com)

Sering kali masalah ketertutupan dalam menerima perkembangan dan kemampuan beradaptasi terhadap kemajuan zaman terjadi dikarenakan kurangnya memelajari dan menganalisis masalah sesuai dengan situasi. 

Tak ada yang menyalahkan jika kita yang lahir di tahun 60-an hingga 70-an hidup dalam keterbatasan. Tak terakomodasinya keinginan dan minat dengan sarana penunjang sering menjadi alasan klasik mengapa kita terbatas dalam rangka adaptasi zaman. 

Beda cerita dengan anak yang hidup di era zillenial, mereka cenderung difasilitasi dan didukung oleh keadaan serta latar belakang keluarga yang mumpuni. 

Akan tetapi belajar tanpa guru dan pembimbing juga dapat membahayakan. Maka dari itu, sudah sepatutnya kita sebagai generasi pendidik maupun orang tua memhami kemauan anak dengan catatan tetap memberikan rambu-rambu sembari mengawasi agar minat dan harapan serta proses dapat berjalan dengan baik.

#SalamLiterasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun