Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Penggemar Penyair

21 Desember 2021   22:40 Diperbarui: 21 Desember 2021   23:27 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber dari pixabay.com

Malam hampir menyentuh langit, saya sudah beberapa menit di atas panggung. Berdiri dengan baju blacu digulung dan celana biru jeans. Di belakang sebuah mike yang berdiri seperti saksi, bahwa saya hanya seorang diri di arena.

Sebuah panggung yang bercahaya siluet, dari lampu-lampu vignet. Saya memegang beberapa lembar kertas di tangan, memuat sanjak-sanjak kasar yang saya gambar di hampir semua kemuliaan jalanan.

Rambut saya membayang di dasar panggung kayu, rambut yang separuh memutih dan mengering, pratanda bahwa saya sudah ditandai mereka beberapa tahun ini, di usia lewat 60.

Saya mambaca dan orang-orang menjadi banyak di hadapan saya, mereka memandang dengan telinga mereka, sesekali mereka berteriak yeah!, ketika irama puisi meninggi.

Saya sebenarnya enggak mengira bahwa telah terhimpun seribu manusia di bangku-bangku stadium ini, duduk membuang waktu, mengamati jalan hidup seorang penyair menua.

Berapa kertas hendak kau tera, hei Bongsky? Demikian kontraktor panggung menyapa saya sebelumnya.
Saya menunjukkan ketiga jari kiri saya, sementara jari kanan saya terselip sigaret yang asapnya berebutan.
Oke! Action!

Pembacaan di gelar di graha Sabtu malam ini, dan saya sedang berada di pembacaan puisi terakhir saya yang termaknyus. Semua tampak membisu, gedung seperti hanya dinding gema suara saya yang serak-serak basah.

Seketika tiba-tiba saya mendengar teriakan panjang. Sebuah lolongan yang begitu atraktif. Saya membeku menutup mike dengan jari, membiarkan gaung jeritan yang menjalar menuju panggung. Akhirnya tertampak sesosok gadis muda berlari dari bangku tengah stadium. Rambutnya bergerai mengejar langkah kakinya, begitu juga gaun panjangnya berkejaran dengan tapak kakinya yang telanjang. Kedua lengannya yang terbuka terangkat ke arah saya dengan matanya bercahaya seperti api.  

Dia berlari semakin segera saat menjelang arena, dan dia melompat bernas ke atas papan panggung tepat di muka saya lalu perempuan muda ini berteriak.

Aku menginginkan kamu! Aku menginginkanmu! Jerit bibir indahnya melekat mike.
Bawalah aku! Bawalah aku! Lanjutnya tak rehat gahar.
Saya pun sedikit gerah dan memperingatkannya.
Lihat! Mengertilah, menjauh dari saya!

Tapi perempuan itu terus merambah kemeja saya dan mencabik-cabiknya, lalu melemparkan tubuh lurusnya kedalam tubuh saya.
Saya menahan tubuh ramping itu, tapi saya merasa begitu berat, saya merasakan bagai ada beban di dalam, membikin kami berdua terhuyung.

Sekerjap saya mencuri pandangan di bawah sapuan lampu panggung yang membayang ke bangku-bangku penonton.  Dan saya menemukan kebangkitan disana, seakan mereka, para penonton itu, menikmati atraksi ekstra pada panggung seorang penyair pujaan.  

Seperti ombak, para pembeli karcis itu mengangkat bokongnya bergelombang, berdiri dan memberi tepukan tangan.
Saya masih bergelut dengan rangkulan kencang wanita muda itu, dan dia menangis keras seperti seperti membasahkan suara sesal.

Saya pun merenggangkan kepalanya dan mendekatkan wajah saya ke telinganya.
Kau dimana selama ini? Saya bertanya dan meneruskan.
Ketika saya hidup di selokan dan hanya memakan sebatang umbi sehari dan hanya bisa mengirimkan cerita pendek sampah ke penerbit bulanan yang sulit?

Perempuan itu mengerlingkan mata apinya, tangannya yang kering merambah bagian celana saya dan berusaha meremas, lalu lehernya berputar mencocor bibir saya. Samberan bibirnya terasa seperti sayur pahit.
Sementara suara penonton merespon mengikat ruang stadium, separuh bertepuk dan sebagian berdiam sementara sebagian kecil menyiulkan bunyi dari lekukan bibir mereka.
Suit.. suiiitt!

Beruntung ada dua wanita penonton garis depan terlihat melompat ke atas panggung dan merenggut gadis perangkul saya ini, mereka mebawanya ke dalam keremangan dimensi sebalik panggung. Gadis itu meronta namun tangan dua perempuan itu tampak berotot seperti terbiasa bekerja keras. Mereka mudah meringkusnya dan menentengnya seperti anak perempuan tujuh tahun.

Saya masih mendengar suara jeritan perempuan itu meski tubuhnya telah menghilang bersama pembawanya jauh keluar arena belakang. Saya membungkuk memunguti lembar-lembar puisi saya yang berserak di papan panggung, beberapa bagian kertas itu berwarna kelabu karena terinjak-injak insiden barusan. 

Stadium terlihat mereda dari geger semula, begitu lekas menyurut menuju hening di saat saya bersiap di lembar lanjutan. Saya mencari huruf-huruf tangan saya yang tertulis di kertas kucel itu, tapi saya hanya membaca jeritan wanita perambah tadi, sedangkan penonton memandangi saya menanti gerak bibir saya yang masih saya rasakan getir.

Tapi sekali lagi, saya tak kuasa menghapus suara kering wanita itu mengiang lagi hingga ke kertas puisi, itu seperti masa lalu yang tak hendak berlalu. Dari atas panggung saya merenung. Semestinya saya menahan gadis muda itu bersama saya di atas panggung di depan semua pandangan mata seribu penonton ini.
Namun saya tidak tahu, apakah dari semua mata itu, seseorang tidak akan pernah bisa yakin apakah itu puisi bagus atau halusinasi masam.

Lalu saya berbalik meninggalkan panggung tanpa melanjutkan. Dan dari belakang saya mereka-mereka berteriak.  
Hei! Bongsky, engkau memang penyair jahanam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun