Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Jendela Lantai 8

29 November 2021   21:17 Diperbarui: 1 Desember 2021   20:45 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: dari jendela kamar. (Sumber: pixabay.com/Michael Gaida)

Mungkin Luna selalu menyimak surat-surat puisi yang pernah kubuat untuknya, dan tak pernah bisa dihilangkan dari sanubarinya. Sepertinya dia sudah tersegel dengan itu, meski sepanjang usia dia selalu mengolok-olok tentang kegagalan impianku untuk menjuarai blok people of the year.

Tak lama aku mendengar suara musik yang teratur dari tidurnya, dimulai dari intensitas yang rendah terus meninggi. Luna mengorok dengan irama yang pas, tidak ngasal, dan aku menyenanginya dia mengeluarkan bunyi saat dirinya tertidur.

Bahwa kenyataan yang disebut Luna adalah benar bahwa aku tidak pernah tidur bersama huruf-huruf yang selalu menarik pikiran dan tubuhku kembali ke meja tulis.

Hingga hari naik ke tepi jurang pagi, dan jago mulai berkokok menyapa garis sinar mentari, biasanya aku berhenti. Ku pikir ini baru saja terjadi. 

Sepertinya kemarin dan itu berada diantara tulisan dan berita, diantara campuran fiksi dan realiti. Aku masih menulis tanpa lelap, seperti kata-kata Luna, istriku tercinta. Aku tak pernah tertidur.

***

Dan aku menguburkannya di suatu pagi yang lebih awal, kupikir. Yang ku ingat aku membawanya ke sisi tanaman berdaun hijau tua kesukaannya, yang terhampar di bukit pinggir kota. Dengan bebatuan yang jarang untuk menutupi lubang yang digali tempatnya tidur sekarang. 

Menutupinya pula dengan tanaman satu jenis dedaunan, supaya matahari hanya menyengat hangat. Aku tidak menuliskan namanya Luna, karena ku pikir dia sudah tahu, aku memilikinya, meskipun tanpa huruf namanya.

Sehabisnya, aku tidak bisa melihat apa pun dari mataku, semuanya hanya terasa hangat yang meleleh, kabur, dan tanpa warna.

Waktu itu aku berhasil berkendara pulang dan aku naik ke tempat tidurku yang sudah sepi tak bergerak. Dan aku bisa tidur selama 5 hari 4 malam.

Aku akhirnya bangkit dari belenggu insomnia, dari belenggu blok of the year, untuk berakhir sendirian, seperti di sebuah ruang makam tanpa rokok dan kaleng minuman. Di atas kepalaku yang memutih, hanya sebuah bola lampu, tanpa meja menulis, hanya kursi tua, terduduk dengan perut gendut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun