Biduan berjalan menyusuri pedestrian kota, dia berjalan lurus seperti garis. Mengadu nafkah memang selalu mengiris, apalagi mau menjadi komponis. Gitar tua dikalungannya tidak hendak benyanyi, karena pagi belum banyak dihabisi matahari.
Saya akan menulis musik tentang fajar yang baru saja! Bisiknya dari dalam hati.Â
Tapi itu tetap saja seperti kemarin, lagu itu tidak pernah ada, seperti tertelan di batas malam dan pagi. Selalu begitu. Biduan hanya kembali terjerumus kepada lagu-lagu begituan untuk bernyanyi di setiap kendaraan di lampu 'traffic', Â bernyanyi agar mulutnya bisa mengunyah warteg sepuluhribuan. Setiap hari melagukan lagu berulang seperti karet, untuk sesuap nasi.
Dan saya akan menciptakanlagu-lagu paling murni, 'fragrant' yang bangkit dari tanah seperti kabut rawa! Timpalnya dari dalam otaknya. Tapi lagu impiannya itu hanya embun yang jatuh dari surga yang di kembalikan lewat panas cahaya.
Betapa susahnya menjadi nyanyian, ketika rona kesibukan kota, dari mulai angkutan, rumah makan, perempatan, parkiran, Â hanya memberikan satu pilihan yaitu belas kasihan. Dan suara biduan nyaris tak terdengar, begitu tipis tanpa perhatian. Dia tersisih seperti pengemis.
Tapi aku seorang biduan! Jerit dalam hatinya.Â
Alhasil, hanya malam dan kesunyian yang mendengarkan dendangnya. Ketika malam tiba dan segala terlelap, biduan akan menyanyikan lagunya sendiri yang  mengalun lembut, suranya jernih dengan nada tinggi yang pas. Nada lagu terasa indah ketika hari berjalan sunyi. Tak ada yang mendengarnya kerna kota telah tertidur, kecuali orang-orang mabuk di pulang malam.
Apakah kau menyanyikan 'Blues'? Seorang pemabuk mendekatinya di pinggir jalan. Biduan menggeser tubuhnya, penciumannya menjauh bau alkohol yang merambah sekujur orang oleng tersebut.
Tidak ada seorangpun di seluruh dunia ini, tidak punya siapa-siapa selain diriku! Orang teler itu bernyanyi sembari bergoyang.
Ayooh! Jangan berhenti kawan! Pemabuk itu merebut gitar Biduan, lalu tangannya memetik senar dan memainkan lagunya yang reyot.