Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Biduan Biru

23 Agustus 2021   14:13 Diperbarui: 23 Agustus 2021   14:18 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Biduan berjalan menyusuri pedestrian kota, dia berjalan lurus seperti garis. Mengadu nafkah memang selalu mengiris, apalagi mau menjadi komponis. Gitar tua dikalungannya tidak hendak benyanyi, karena pagi belum banyak dihabisi matahari.

Saya akan menulis musik tentang fajar yang baru saja! Bisiknya dari dalam hati. 

Tapi itu tetap saja seperti kemarin, lagu itu tidak pernah ada, seperti tertelan di batas malam dan pagi. Selalu begitu. Biduan hanya kembali terjerumus kepada lagu-lagu begituan untuk bernyanyi di setiap kendaraan di lampu 'traffic',  bernyanyi agar mulutnya bisa mengunyah warteg sepuluhribuan. Setiap hari melagukan lagu berulang seperti karet, untuk sesuap nasi.

Dan saya akan menciptakanlagu-lagu paling murni, 'fragrant' yang bangkit dari tanah seperti kabut rawa! Timpalnya dari dalam otaknya. Tapi lagu impiannya itu hanya embun yang jatuh dari surga yang di kembalikan lewat panas cahaya.

Betapa susahnya menjadi nyanyian, ketika rona kesibukan kota, dari mulai angkutan, rumah makan, perempatan, parkiran,  hanya memberikan satu pilihan yaitu belas kasihan. Dan suara biduan nyaris tak terdengar, begitu tipis tanpa perhatian. Dia tersisih seperti pengemis.

Tapi aku seorang biduan! Jerit dalam hatinya. 

Alhasil, hanya malam dan kesunyian yang mendengarkan dendangnya. Ketika malam tiba dan segala terlelap, biduan akan menyanyikan lagunya sendiri yang  mengalun lembut, suranya jernih dengan nada tinggi yang pas. Nada lagu terasa indah ketika hari berjalan sunyi. Tak ada yang mendengarnya kerna kota telah tertidur, kecuali orang-orang mabuk di pulang malam.

Apakah kau menyanyikan 'Blues'? Seorang pemabuk mendekatinya di pinggir jalan. Biduan menggeser tubuhnya, penciumannya menjauh bau alkohol yang merambah sekujur orang oleng tersebut.

Tidak ada seorangpun di seluruh dunia ini, tidak punya siapa-siapa selain diriku! Orang teler itu bernyanyi sembari bergoyang.

Ayooh! Jangan berhenti kawan! Pemabuk itu merebut gitar Biduan, lalu tangannya memetik senar dan memainkan lagunya yang reyot.

Kau harus menyanyi Blues! 'The Weary Blues', Ah.. Saya mendapat 'Blues yang payah', yeah..yeah.. Saya tidak bisa puas, saya tidak senang dan saya berharap saya telah mati! Pemabuk itu bernyanyi 'sway' bersama gitar tua Biduan. Suaranya serak berderak, mengerang seperti membuang dengan kasar kesedihannya sendiri. Tak lama dia terhuyung dan jatuh terbujur di beton kakilima. Dia malah terbahak-bahak sambil mengoceh dengan bahasa yang tak jelas. Nafasnya di dadanya memburu.

Biduan mendekatinya lalu merebut gitar tua dari pelukan lelaki berbau minuman itu, dia berhasrat meninggalkan lelaki reseh ini daripada mencari penyakit. Biduan berdiri dan tergesa melangkah pergi meninggalkan lelaki rubuh. 

Namun baru di setengah depa, Biduan berpaling  menatap pemabuk, bukan untuk memastikan kesadaran pelantur itu, melainkan dia seperti kembali terngiang akan suara 'blues' lelaki itu. Serangkai nada yang ditangkap telinganya terdengar begitu asli dan menyayat, kord yang asing yang keluar dari gitarnya demikian ganjil. 

Biduan berhenti melangkah, seperti merasakan duabelas bar akord miring, yang barusan dimainkan oleh seterunya yang menggunakan gitar lusuhnya. Perlahan Biduan berbalik badan, kembali mendekati lelaki mabuk yang matanya masih menhadap langit.

Bintang-bintang padam, begitu pula bulan. Blues yang payah, masih bergema di kepala. Dan jauh di malam hari aku menyanyikan lagu ini. Saya tidak senang, Mama! Dan saya berharap saya telah mati!  Lelaki itu mengulang syair lagu blues nya, sementara Biduan tanpa sadar memainkan tap-tap akord tiga minor untuk tiga mayor mengiringi sinkop yang keluar dari mulut berbau methanol itu.

Yeah! Yeah!.. Mata lelaki blues itu terpejam, seakan membela suara iringan gitar yang dipetik Biduan.

Biduan membiarkan lelaki di depannya terkapar, tertidur seperti orang mati. Dia menyelimuti 'Blues man' itu dengan jaket lusuhnya untuk mengurangi dingin malam, tapi penyanyi pingsan itu tak merespon, dia mulai mengorok, perlahan lalu semakin keras, melupakan kehidupan.
Biduan memeluk gitar reyot dan memainkan lagu blues yang rasanya sudah lama  dirasakan sama dengan perasaaannya.

Berkumpul dari bebu bintang, debu tanah, debu awan. Dan serpihan es, segenggam hujan dan segenggam debu mimpi. Semua ini tidak untuk dijual! 

Begitu Biduan bersenandung, suaranya  yang semula merdu telah menjadi berat, seperti penyanyi kulit hitam. Bercerita tentang lagu sedih dari Alabama yang diterbangkan angin malam yang beku. Cukup lama dia bersenandung, Biduan mulai melagukan lagu sinkop yang mengantuk dan mengantarnya tertidur lelah seperti batu. 

Kedua lelaki yang baru bertemu itu terkapar berdekatan, di terotoar jalan, dengan persoalan masing-masing, tapi dengan kebahagian yang sama yaitu I Got The Blues.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun