Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Burung Penyair dan Burung Bulbul

28 Juli 2021   11:32 Diperbarui: 28 Juli 2021   16:55 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Imaged by pixabay.com

Orang-orang memberikan hati hingga meluber keluar keranjang, juga dipadati oleh komentar yang menyemangati. Nyanyian-nyanyian yang menyegarkan membuat dunia mereka bertepuk tangan. Terasa seperti minuman soda sebagai pemutus dahaga instan yang sumringah. 

Burung-burung itu semakin banyak berlompatan, bermacam jenis dan beraneka bulu warna. Mereka menyanyikan lagu keceriaan duniawi dan serta merta mengikat keperluan hari-hari yang semakin diminati dan dinanti. 

Ada burung bulbul yang bernyanyi melengking, dan kutilang bersuara tipis atau tekukur menimpali dengan timbre bas, belum lagi prenjak dengan suara centil, segala bunyi silih berganti memenuhi bumi.

Segera keluar dari antara kami! Sekelompok  burung bulbul kecil berwarna coklat menegur seekor burung penyair yang sedang melagukan syairnya.  Burung penyair 'lonely' itu menclok di muka gerbang taman pertunjukan, dia pun memutus lagu sunyinya.

Kami tak memerlukan lagu-lagumu, hai penyair tua! Kami telah membuat musik yang lebih bugar di telinga kami daripada nyanyian jiwa! Beberapa rombongan jenis lain mendekat, nimbrung mengelilingi sang pesajak.  

Burung penyair itu terlihat kecil, kolot dan tak berdaya, dia keluar sambil menangis, sambil membawa lagu hati kehidupan.  Dia menjadi terpinggirkan,  dengan lagu-lagu melankoli menemani yang menjurus kepada suara ilahi. 

Taman yang pernah diberikan kini telah menjadi saksi bisu sejarah kejayaan susastera yang pernah hadir. Bahkan semenjak berubah menjadi lapak yang tersudut, burung-burung penyair pergi satu demi satu. Lapak sastra pun sunyi, hanya mendengungkan lagu-lagu kenangan surga. 

Dimana burung-burung bermuka jelek dengan lagu nirwananya? Begitu nyanyian burung penyair, sembari berpikir apakah untuk berkahir karir atau menyingkir?

Akhirnya burung kecil penyair pergi ke luar negri dengan resiko kehilangan diri sendiri disana. Tak ada taman yang hijau lagi, hanya tertinggal dapur dan rumah tangga, perkantoran dan pemerintah yang riuh. 

Mereka, maksudnya kawanan burung-burung berkicau yang menguasai kebun, mencipta lagu-lagu tentang kehidupan duniawi.

Dimana kepala negri? Apakah mereka telah menjadi mesin? Begitu cecap burung penyair di perjalanan kehilangannya. 

Dimanakah mereka menyimpan syair lagu keabadian?  Lalu burung penyair terbang ke bawah matahari dan menemukan banyak tersimpan harmoni disana. Dia kembali menangis ketika nada abadi tertingginya tersimpan ke dalam laci terendah di bawah matahari, yang tidak pernah menggapai surgawi.

Musim berganti, badai pasti berlalu. Telah dua dekade berlalu mengunjungi kebun semesta.
Burung penyair masih saja kembara. Kali ini ada keputusan penting, dia berhenti untuk kembali merenung, tak ada pilihan lain, burung penyair memutuskan kembali ke taman burung, untuk mencari tanah heritagenya untuk mengubur usia. 

Dia bersyukur masih dipanjangkan umur berkat lagu-lagu keabadian surgawinya, yang tanpa terasa sudah memimpinn kehidupan fana dalam dua dekade yang terlampaui.  Dia merindukan teman burung-burung yang lain tanpa prasangka meskipun luka menganga.

Sebelum waktu memanggil, burung penyair harus mencapai batas kebun terjanji, dan dia terus melagukan surgawi, terbang hingga mencapai pintu gerbang taman kehidupan. Dia menclok di pucuk pintu pagar tertinggi dengan muka lelah, nafasnya terengah namun hatinya bulat. Seandainya mereka menolaknya, dia akan mengatakan hanya ingin mati disini di tanah kelahirannya. Itu saja titik!

Namun tidak terdengar apapun dari taman yang dahulu riuh, hanya terdengar mendung. Mata unggasnya berputar mencari kawanan burung bulbul yang dahulu riuh atau lainnya namun hanya sunyi di telinga.

Hai, burung bulbul, apakah semua manismu sudah selesai? Burung penyair bernyanyi memanggil-manggil. Jawablah, kawan! Saya pulang, meskipun tetap tak mampu menyanyikan hal-hal duniawi!
Namun tetap tak berjawab kecuali senyap.

Lalu burung penyair terbang ke tempat yang pernah menjadi lapaknya, hanya kubur dan kematian yang ditemuinya. Di tengah seribu ratapan, burung penyair menidurkan dirinya dengan lagu abadi dan berhenti bersama sepi.
***
Dan ketika saya, beberapa ratus abad kemudian, terakhir datang ke tempat itu, saya bersumpah bahwa musiknya tertinggal disana. Hanya nyanyian burung penyair, dan bukan lagu burung bulbul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun