Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Masa Lalu yang Memikul Masa Depan

24 Mei 2020   17:46 Diperbarui: 25 Mei 2020   15:46 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Entahlah.  Barangkali betul seperti yang pernah disinggung neneknya padaku satu ketika, bahwa Ranjai begitu terpukul menerima kenyataan ayahnya yang diidolakan, wafat di saat karir ayahnya moncer yang juga sebagai dokter ahli terpandang. Barangkali Ranjai merasa disorientasi, kehilangan masa lalu semenjak itu, lanjut cerita sang nenek. 

Ranjai sendiri selalu bungkam setiap ada cerita atau pembicaraan yang berkenaan soal ayahnya. Sedang diriku sendiri tak pernah mempermasalahkan.  Begitu pula halnya, ibu Ranjai yang biasa ku panggil Marta, beliau tak pernah sekejap pun menyinggung soal ayah Ranjai. 

Yang kutangkap selama ini bahwa Marta begitu dominan mengurusi Ranjai anak lelakinya itu. Ku kadang terganggu dengan rutin kedatangannya ke rumah kami saban minggu, untuk entah mencucikan baju atau membawakan makanan jus sayur dan kari kesukaan Ranjai yang dimasaknya sendiri. 

Namun seterusnya kerna begitu biasa, sampai hal itu tak lagi mengusikku. Dan kehidupan keluarga ku berjalan demikian adanya, meski sangat berbeda dengan 'style' kehidupan famili bersama dengan eks suami dulu, yang terasa lebih independen.  Namun aku, juga kedua belia ku, tak menemui problem adaptasi, walau mulai tercetak patron keluarga Ranjai tampak membingkai dalam kehidupan rumah kami.

Hingga di suatu sudut sore yang buram kerna musim hujan mulai membumi, Ranjai pulang lebih awal dari rumah sakitnya tak sebagaimana lazim. Kupandang  pasi wajahnya, yang mana ketampananya nampak mulai bergaris tua, sehingga bertambah begitu kentara. Yang mengusikku adalah kepantangan bagi Ran, untuk pulang  ke rumah sebelum lonceng malam berdetak yang kali ini dilanggarnya, dan ini tidak biasanya yang membikin ku ciut.

"Akhirnya kepastian ini datang, Hara.." Ranjai membujur ke dalam sofa sambil menelungkupkan tangan ke wajahnya.

"Please Ran, ceritalah" kataku yang mulai terbawa resah. Ranjai tak menjawab dan tak memalingkan sama sekali parasnya. Hanya perlahan tangannya yang biasanya halus dan professional kulihat pertama kali bergetar, mengulurkan 'print out' analisis. Dan ketika hampir habis hurufnya kubaca, aku merasakan seperti lapisan kaca buram di lapis mataku sehingga tak terselesaikan. Lalu meraih kepalanya kedalam dekap harumku.

"Oke.. oke..kita tenang, kamu akan berobat Ran..."

"No, Hara. No. ini 'cancer' di pankreas. Tak pernah ada obatnya selama ini"

"Ranjai.. kamu akan bisa melaluinya.. bersama aku.." aku menambah erat dekapan kerna mulai merasa lelehan hangat di pipiku.

" Tidak, sayang. Kamu tahu Hara, selama ini tak pernah satupun penyintas kanker pankreas  yang berhasil melaluinya.." Ranjai melepas peluk ku sambil menatap beranda jauh lewat jendela besar ruang tamu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun