Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mengejar Cahaya

9 Februari 2020   13:26 Diperbarui: 9 Februari 2020   13:37 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Christo Anestev dari Pixabay

Aku pergi ke klub malam, mereguk semua cahaya dan puja puji kehidupan, sampe berbusa. Mendem ke dalam disko atau  musik koplo di ruang bising penuh tawa dan cahaya, saling melontar kata keindahan tentang wajah, bentuk tubuh, fashion, emas, rumah, mobil, jabatan, selebriti, tas, sepatu, dasi, saldo atm dan segala hal  alay yang sering berputar di televisi.

"Mampuslah kau malam!" teriakku setengah teler. Dan orang orang di sekelilingku ketawa ketawa, entah mengerti entah tidak, mungkin mereka cuma tau, yang penting lanjut hepi mang!

Sehingga ketika ku buka gerbang gedung klub malam, kudapati cahaya  pagi  yang memulai  garis terang paginya, membuatku girang berhambur keluar. "Malam telah terkalahkan!!.. Hahaha..." aku terbahak ditengah aspal sepi, terhuyung menuju pulang. 

Badanku merasakan bahagia, ketika menuju peraduan untuk segera memeluk tidur. Senang kerna aku tak lagi ditelanjangi malam, guna melepas segala pujian kehebatan yang kumiliki. Sehingga segala puji basa basi tetap dapat kupeluk terus bersama mimpi tanpa direbut oleh malam. 

Dan sejauh ini akupun berhasil mengenyahkan mimpi yang menggambarkan bahwa mentari terbit itu seperti gerobak yang membawa sampah sampah malam untuk di buang. "Bodo amat!" gerutuku dialam bawah sadar tidurku.    

Hingga suatu ketika, di suatu pembelian cahaya pesta malam, yang entah ku lupa, hari yang keseratus berapa. Aku merasakan sesak di dada tubuhku yang mulai ceking. Beberapa kali ku terbatuk berkepanjangan, meski sudah ku usir dengan minuman energi, tetep saja rasa tusukkan didada kiri malah menghujam. 

Lalu tanpa bisa ku cegah, aku merasakan lunglai dan merosot terkapar di lantai. Ku mulai trance tak sadar diri, telentang menatap lampu di langit langit yang  berpendaran cahaya benderangnya.

Beberapa pelanggan karib disekitarku jadi heboh "Woy.. lurah kita ambruk!" ku dengar sayup mereka entah berteriak entah kebanyakan becanda, yang kutau tubuhku sudah terangkat dan aku gelap lalu merasakan dingin.

Dan kalian tau? Hari hari berikutnya aku tidak pernah lagi menemukan cahaya, hanya gelap abadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun