Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pengantar Keabadian

8 Juli 2019   15:40 Diperbarui: 8 Juli 2019   16:02 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Selamat pagi" Supir taksi ramah berseru lewat sisi kaca kemudi yang terbuka. Itu seperti tanda akrab bahwa aku lah penumpangnya. Aku yang sunyi berdiri dimuka pekarang rumah merunduk mencoba menegaskan rupa pak sopir. Terlihat wajah riang yang lembut pak sopir tua, yang segera saja menurunkan was was disemenjak pagi yang diselimuti mendung muram. Aku memutar dan membuka pintu belakang untuk duduk senyaman yang aku mau, sekalian mengusir resah yang tak luput sirna.

"Berangkat ya Non" dia mencuri wajahku lewat spion kemudi, sementara aku mengangguk setuju.

Taksi melaju menuju tertuju, perlahan tanpa tergesa, seakan berusaha menghapus kegelisahan hati.

"Perjalanan ini lumayan jauh Non, dan akan memakan waktu yang cukup lama" Sopir tua menjelaskan kata sabarnya. Aku kembali mengangguk mengiakan.

Lalu hanya kedap. Taksi membawaku kembali di kesendirian dalam aroma lembut pengharum kendaraan yang terhirup dari kursi belakang.

"Non mau langsung lewat tol atau berputar di arteri saja?" Sang sopir memecah hening.

"Mmm terserah saja bapak" Aku sendiri sedang segan bergegas.

"Baiklah. Kita berputar Non"

"Boleh"

Taksi pun urung menembus gerbang bebas hambatan, menyimpang ke jalan kebiasaan sehari hari ku semenjak sebelum lahirnya aspal aspal tol. Sedikit galauku terhibur menoleh sisi jalan yang begitu mengental di benak. Seperti pengulangan kebahagiaan kenangan yang tak mudah kulepaskan. Dan pak taksi seperti sehati mengikuti alur hatiku. Saat kami melalui sekolah taman kanak kanak dan sekolah dasar tempat puncak keindahan bermain di silam ku. Permainan kasti, petak umpet hingga merangkai anyam kertas krep rupa warna. Membuatku tersenyum oleh sengatan rindu mengenai persoalan keluguan masa kecil.

"Ini sekolah tk dan sd saya pak!" tanpa sadar aku mengoceh riang. Pak taksi hanya tersenyum tanpa sepatah, dia setengah konsen perihal lalu lintas yang ramai.

Melewati album sukacita sekolah mungil ku, taksi perlahan memedal jalan menanjak, menyusur lintas yang sedikit sepi tapi sejuk dengan daun hijau di kiri kanan. Aku tertawa sendiri di kalbu.

"Pak taksi. Ini jalan menuju kampusku dulu, lho?" kataku spontan menyerocos senang. Kembali pak sopir hanya tersenyum sembari mengangguk angguk.

"Itu ruang kuliahku. Itu taman kampus. Itu ..itu.." tanganku menunjuk kebanyak arah tempat, layaknya bocah melihat banyak mainan atau menonton sirkus. Pak sopir menyentuh spion depan memastikan seperti apa lagakku, namun segera kembali fokus ke jalan yang mulai berkelok. Hingga tak lama melewati hamparan sawah yang keemasan yang tebungkuk tertiup angin.

"Whats? Pak sopir ini tempatku bekerja praktek pertanian. Ladang padi yang tiap hari kami mahasiswa pertanian akhir siangi. Waah..indahnya?" Hatiku bergejolak dengan mulut ternganga. Lagi lagi pak taksi menghadapi dengan senyuman seperti dewa sembilan belas.

Aku sendiri kehilangan muram dan galau, merasakan excited dan seperti jadi berserah kepada pak taksi membawaku kelana.

Sampai tak terasa langit petang mulai menerpa, matahari terlihat berjalan melewati kami, perlahan membenam di cakrawala barat.  Taksi berhenti di lintasan kereta api menunggu. Mobil taksi kami bersejajar dengan arah kereta ketika kutatap kesisi, dari kereta disisiku, kurasakan bahwasanya kami lah yang berjalan bukan kereta itu.

Lalu aku memutar kaca jendela dan melongokkan kepala, menatap mentari yang sedang berjalan terbenam. Ternyata aku salah, bukan matahari yang melewati kami, tapi kami yang melaluinya. berarti kami  lah yang meninggalkan matahari. Sekejap kurasa menyedihkan kembali ke tempat senduku awal semula. Karena aku pikir, aku mulai mencerna perjalanan ini.    

Betul kiranya, saat senja sempurna. Taksi mulai memasuki pintu gerbang tujuan.

"Berhenti sebentar ya pak?" aku menyapa lirih. Dan taksi perlahan berhenti.

Melangkah keluar aku menatap dari muka gerbang, gelap dan menakutkan yang memang kurasakan selalu semenjak kecil. Apakah betul tempat itu ada di sana? Aku, antara tak ingin tahu dan sekaligus  mengelak. Ah, aku tak menyukainya. Atau? Apakah mereka menyukaiku? Atau? Inikah koda yang menyedihkan? Salah satu jeda berabad sebagai penukar dari hari hari? Adakah kebosanan tak terbatas disana karena seperti nampak tanpa ada jaminan?

Kembali kutatap remang lebih jauh, tak ada yang berubah, hanya bahwa berabad abad telah berlalu.

Sopir tua berwajah bijak merangkul pundakku. "Kita tak bisa terlalu lama.." bisiknya lembut. Aku mengangguk, dan kami kembali memasuki taksi.

Melintas gerbang gahar, menembus remang. Menggapai sisi gundukan tanah disepanjang kiri dan kanan yang seragam. Sampai taksi berhenti di tujuan salah satunya.

Sang sopir membukakan pintu dan menyilakanku turun perlahan. Sementara dingin meniup sekujur tubuhku mulai dari wajah hingga kejemari kakiku, saat kujejakkan langkah ketanah.

Sopir taksi berbalik langkah menuju kemudinya, tanpa kata meninggalkanku sendiri terdingin di alam, namun masih sempat menaruh keyakinkan aku bertanya lewat punggungnya.

"Maaf. Apakah bapak Keabadian?"

Dia tak menoleh, hanya erat melekat pedal gas kendaraannya penuh, layaknya terangkat, yang serta merta taksipun berubah menjadi kuda putih bersayap, terbang bercahaya benderang menuju langit seperti Pegasus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun