"Kenapa kita naik gerobak, ayah?" tanya Roja kecil
"Mobil kita mogok, nak" ayahnya tersenyum
"Kenapa?"
"Bensinnya sudah habis"
"Kenapa harus pakai bensin?"
"Hmm.. seperti matahari memberikan panas, Â bensin juga begitu. Lalu menggerakkan mobil kita"
"Kenapa tidak pakai air saja, ayah?"
"Tidak bisa..."
"Aku akan membuatkan air seperti matahari, untuk mobil kita"
"O ya?"
" Aku bisa ayah"
Ayah tersenyum sambil menguyeng uyeng kepala Roja, bocah pintarnya.
Pagi ini ayah terpaksa bergerobak memuat sayur produk kebun sendiri. Tidak seperti rutinnya mengendarai mobil bak lawasnya disetiap bulan panenan, kerna kekeringan bensin. Â Namun ayah dan Roja, menikmati laju lendat lendut, gerobak kuda kampungnya. Mereka bercengkerama sepanjang laluan menuju penghujung pekan yang ribut.
Sekembali dari pekan, Roja menepati janjinya. Membuka buku level kelas 12 yang sering dipinjamnya dari pustaka SMAN-DD (Sekolah Menengah Atas Negri Di Desa), membaca sekejap reaksi pembentukan hidogen dari air. Lalu mengatupkan bukunya. Â Roja memang sekilat membaca lalu paham tak terhentikan. Dirasakan sejak menginjak dua tahun, membaca semua kertas dan mencongak semua angka, tertawan di balik otaknya. Dia juga mengajari matematika bocah esde sebelah rumah yang delapan tahun didepannya. Â Roja bocah kelewat cerdas, orang orang banyak suka, juga kurang suka, kerna Roja terlalu deras kedepan.
Lalu Roja kecil membuat gambar seperti ember mungil yang berisi besi, katanya nikel, barangkali yang kita sebut sekarang  itu reaktor, dan diberikan ke mang Kasep asisten kebun jebolan SMK untuk ditempa di bengkel serba bisa, mang Uus.
Let dua hari, organ pembakaran mobilnya sudah bermigrasi menjadi blue energy alias BBA, Bahan Bakar Air. Dilengkapi dengan sensor laju dengan tiga variable yaitu gas hydrogen, putaran as dan temperatur, barangkali yang sekarang kita sebut PLC, Programmable Logic Controller, Â kendaraan pun beroperasi normal selayaknya ber BBM.
Ayah dan Roja happy, tak lagi tersandera bensin, untuk melepas panen sayur ke pasar kota.
Itu stori ketika Roja menginjak usia ke enam.
Pada usia ke tigabelas  Roja disedot ke MIT, Massachusetts Institute of Technology dijurusan fisika dengan motto Mind and Hand, disitu pula di umur dua satu, Roja merampungkan PhD nya. Banyaklah yang merayunya dari Boeing, Nasa sampai MIT dan Harvard, berupaya mengikatnya. Namun Roja cinta Indonesia, NKRI harga mati.
Dia pulang kekampungnya untuk berbuat sesuatu. Meski rakyat didesa menyambut gempita kepulangannya, dengan tulisan banner yang menggeledek."Selamat datang yang terhebat, Roja super jenius"
Roja membalasnya dengan senyum. Hadapi dengan senyuman.
"Selamat datang Prof! Hebat euy!" para penduduk mengelukan, berebut menyalami bangga pisan.
Roja mengerti dan sempat mengoreksi sambutan yang dirasa berlebihan.
" Bukan seberapa hebat, tapi seberapa berguna apa yang kita lakukan" katanya menyitir penyair Rendra. Khalayakpun paham, Roja akan menepati janji sederhananya menghalau kekeringan desa dengan mendorong tekanan awan dan menembakkan garam menjadi hujan. Menaikkan kuantitas panen pertahun sekaligus melipat gandakan yield perhektar lari. Menyusun metode simple enggak ruwet  kognitif anak anak desa, dilengkapi pula afektif yang kulturistik.
Begitu selanjutnya waktulah yang bercerita, soal desa yang sinarnya melebihi kota besar, kerna people nya menjadi lebih tahu apa yang lebih berguna dari sekedar sebuah kehebatan.
Dan desa itu sohor pula dengan nama desa Batu Karang  Roje Roja atau Rocky jenius, Rocky bersahaja.
Jika tak percaya, mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.