Syana menepikan batuk berdahaknya.  Terlihat  bercak merona meruak dilembar tisu ditangannya. Dikatupkannya lalu dilemparkan masuk keranjang limbah.
Dadanya terasa nyeri, Syana mengusap perlahan. Berharap rasa sakitnya sirna, tapi rasa tertusuk tak pula reda. Â
Syana menyudahi puisinya yang belum pecah, luka dalam yang memilin, mengurungkan pasion menulisnya. Dia rebah ke peraduan, berdiam diri menanti lewatnya waktu rasa perih berangsur pergi. Sama seperti hari hari sebelumnya.
Syana terbaring menatap langit langit kamar, merelakan satu lagi puisi tak selesai dimalam ini. Menyusul banyak puisi sebelumnya yang selalu tehentikan oleh batuk darahnya yang menjadi.
"Barangkali terlalu panjang ,lagi lagi" matanya memejam memaksa lelap.
Setiap berniat memendekkan baris puisinya selalu saja kandas. Ternyata setiap kali pula dia tak sampai hati membuangnya. Membuatnya menyerah dan selalu urung mengirimkannya ke suatu platform blog online ternama. Dia selalu saja berenergi setiap membuka blog jejaring untuk semua orang itu, meskipun belum sekalipun puisi putusnya terbersit disana.
Namun Syana meneguhkan kalbunya. Malam ini dia sudah mengirimkan puisi terakhirnya, meski satu puisi yang tak selesai.
Malam agak larut, selayak ritual rutin, mama memantau kedalam kamar  tidur Syana. Memakaikan selimut, meraba kening, mematikan laptop lalu memadamkan lampu tidurnya.  Biasanya sebelum mematikan laptop, mama duduk menyempatkan membaca puisi  Syana hari ini. Berharap kali inilah puisinya selesai, namun tak juga berlaku. Puisi puisi yang terpotong semakin meletakkannya kepada kepasrahan melawan penyakit anak gadisnya. Perjuangan haru biru mendampingi Syana memerangi kanker paru paru yang saat kini memasuki fase stadium empat.
Mama melangkah sunyi meninggalkan pulasnya Syana. Didalam kelam sinar ruang, terlihat wajahnya berkilat yang berasal dari mata air yang berserah.
"Tinggal menunggu sisa waktu" mama membeku lalu berdoa.
***