***
Tiba diujung pekan Suami siap membawa Istri ke rumah bapaknya. Minggu ini adalah kuota kunjungan kekeluarga Suami, sesuai agenda yang telah disepakati yaitu saling kunjung selang seminggu bergiliran.
"Ahad depan saja Su. Bapak, ibu lagi meradang", Istri memohon. Matanya melirik kepintu kamar tidur bapak ibunya yang masih terkunci rapat.
"Is. Bukankah bapak ibu kamu sudah sepakat dengan agreement ini?"
"Su, kumohon. Kita terminasi kontrak skedul ini. Kamu tau ini malah membuat kondisi bertambah runyam".
"Semacam moratorium, maksud kamu?"
Istri mengangguk.
"Setelah ku cari jalan terbaik. Inilah the best, Is. Inilah satu satunya resep jitu, melawan jalan tanpa hambatan yang ternyata menghambat hubungan keluarga kita. Tanpa kesepakatan ini, kebersamaan kita akan punah" Suami berbicara separuh putus harapan.
Istri mulai sesenggukan. Firasat wanitanya mengguratkan jalan kedepan yang remang. Suatu jalan hambatan yang sudah hadir, didepan mata jalan bebas hambatan.
Suami menatap Istri sebelum beranjak turn back home, seperti mengisyaratkan bahwa hanya sekitar sepuluh persen peluang untuk bersama Istri kembali. Dia tau jika dia pergi, dua keluarga besar akan chaos. Namun Suami masih punya asa meskipun hanya sepuluh persen. Dia tau itulah harapan, ditengah angin topan suara harapan masih tetap terdengar meskipun lirih.
Suamipun mencium kening bening Istri, yang sudah pecah. "Aku akan kembali, Is", bisiknya lembut.