Maria gadis kecil jelita, rambutnya hitam, lurus dan panjang. Matanya bening seperti embun. Berdagu tirus memikat. Â Tubuhnya lebih kurus dari rata rata anak sebayanya sehingga saat menarik langkah, layaknya berlalu membelah awan. Usianya sekitar enam tahun.
Maria tidak pernah tersenyum semenjak kematian mama dan papanya, bak menyimpan luka panjang yang tidak terukur. Sebagai anak semata wayang, Maria merasa sekonyong konyong dilemparkan ke ruang hampa seorang diri.
Pasca orang tuanya mangkat dia diasuh neneknya yang juga hidup sebatang kara yang tinggal di batas kota. Sang nenek adalah janda dari seorang lelaki serdadu yang wafat semasa tugas. Setakdir dengan Maria, nenek pun begitu duka atas kepergian lelakinya ketika umur perkawinan meraka baru seumur jagung yang sejak itu pula nenek tidak pernah tersenyum didalam kesendiriannya.
Sampai kini berjalan sudah tahun ketiga kebersaman mereka, meski tanpa senyum yang begitu panjang di wajah, mereka tau rasa sayang masing masing. Nenek kadang memeluk Maria ketika waktu datang merendahkan kalbunya, begitupun sebaliknya Maria kerap memeluknya erat ketika dia tak mengerti lagi cara mengenang mamanya.
Mereka tidak pernah menangis, air mata mereka hanya tertahan dibola mata seperti lapisan kaca bening. Mereka mengerti luka tak pernah tersembuhkan oleh waktu, bahwa luka itu hanya ujian apakah mereka berdua kuasa menjalaninya.
Nenek juga enggak pernah memberi nasehat  Maria secara verbal. Maria hanya melihat laku sang nenek menjalani hidup sehari hari, dan Maria selalu menatap dan menyimpannya didalam hati. Suatu hidup yang kudu dilakoni, menjalani beban nafkah sekaligus beban duka bersamaan, seberat memanggul gelondongan kayu.
Sepulang sekolah Maria kerap bermain di hutan cemara tak jauh dari rumah. Bukan untuk menyesali kisah duka kesunyiannya, melainkan dia menyukainya. Bau cemara yang tertiup angin selalu dihirupnya berkali. Paru parunya yang terkadang sesak menjadi lapang, membuat tubuhnya hangat. Kadang dia duduk berlama lama disebuah gubuk yang ada disitu yang dikelilingi cemara, sampai nenek terpaksa menjemputnya pulang.
Sesudahnya di rumah, Maria akan mengambil  jarum rajut dan mulai merajut. Maria suka, saat pertama kali nenek mengenalkannya, dia tak lekang seharipun melatih kedua tangannya, mengaitkan benang dari arah depan, sementara dari arah bawah jarum satunya mengait benang dari arah belakang. Hasil rajutan itu memiliki pola melingkar bersambungan yang rapih.
Maria menekuni setiap gerak rajut  yang diajarkan neneknya hingga sekarang dia cukup cekatan, melebihi kecakapan dan keindahan rajutan nenek.
Kini Maria sedang merajut kardigan yang secara diam diam dipersiapkan sebagai hadiah untuk neneknya yang esok lusa berulang tahun . Sebuah baju hangat berajut benang biru muda dengan rajutan bintang perak ditengahnya. Â
Hari lusa pun tiba, selepas sekolah Maria bergegas tak sabar untuk memberikan hadiah ulang tahun nenek tercinta, sebuah baju hangat berbintang perak hasil rajutan indahnya. Menjelang tiba dirumah tampak beberapa warga tetangga berkerumun dihalaman depan. Seketika Maria merasakan firasat yang persis sama dengan yang dulu pernah dia rasakan, satu rasa silam yang dukanya tak pernah pupus. Maria pun berjalan sangat perlahan seperti awan, Maria tahu ini akan menjadi rasa silamnya yang kedua, membuat dadanya terasa sesak.