Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menelusuri Keberadaan Ojek Payung di Candi Borobudur

2 Oktober 2017   13:47 Diperbarui: 2 Oktober 2017   16:06 2227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panasnya Borobudur yang mendatangkan rejeki (foto: dok pri)

Siapa pun tahu, bahwa kawasan Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB) yang berada di Kabupaten Magelang sanggup menghidupi ribuan warga. Termasuk, salah satunya adalah ojek payung yang jumlahnya mencapai ratusan orang. Karena profesi tersebut lumayan unit, maka taka da salahnya bila digali lebih jauh. Berikut adalah penelusurannya.

Di kota- kota besar, yang namanya ojek payung atau menyewakan penangkis hujan relatif mudah ditemukan. Mereka biasa beroperasi di halte bus, pasar mau pun pusat keramaian lainnya. Berbeda dengan ojek payung di perkotaan yang beroperasi saat hujan mengguyur bumi, sebaliknya ratusan tukang ojek payung di TWCB malah mengais rejeki ketika musim kemarau tiba.

" Kalau musim hujan penyewa payung malahan sepi, biasanya kami ganti menjual jas hujan dari plastik. Itu pun konsumennya sepi, sangat jauh dibandingkan dengan ojek payung," kata Urip (50) warga yang tinggal tak jauh dari TWCB.

Ojek payung di kawasan TWCB, kata Urip, jumlahnya mencapai sekitar 300 an orang. Di mana, mayoritas tukang ojeknya menjadikan profesi ini sebagai sambilan karena sehari- harinya mereka mempunyai aktifitas menggarap sawah, pedagang mau pun pekerja bangunan. Ketika hari minggu atau libur, meka tukang ojek yang "berdinas" di lokasi akan terlihat banyak. Sedangkan di hari biasa, maksimal hanya 50 an orang.

Tukang ojek payung beraksi di ujung taman (foto: dok pri)
Tukang ojek payung beraksi di ujung taman (foto: dok pri)
Urip mengaku tidak mengetahui persis kapan ojek payung mulai muncul di TWCB, yang ia ketahui, karena kawasan candi saat musim kemarau panasnya sangat menyengat, beberapa orang mencoba berinovasi menyewakan payung. " Ternyata, peminatnya sangat banyak. Kan orang sekarang khawatir kulitnya gosong terbakar matahari," ungkapnya.

Secara perlahan, jumlah tukang ojek makin hari terus bertambah. Bahkan, beberapa pedagang yang biasa berjualan cindra mata khas Borobudur pun mendadak banyak yang alih profesi. Maklum, keuntungan hasil ojek payung layak disebut sangat lumayan. Di mana, untuk sekali peminjaman tarifnya Rp 5.000 tanpa batas waktu. Terkadang, bila bertemu turis bule, angka tersebut bisa menjadi dua kali lipat.

Harus piawai membaca gestur pengunjung (foto: dok pri)
Harus piawai membaca gestur pengunjung (foto: dok pri)
Menurut Urip, seorang pengojek payung seperti dirinya, rata- rata membawa 50 payung saban harinya. Investasi yang dibenamkan tak begitu menguras kantong, sebab, ia membeli dalam jumlah besar. Untuk 1 lusin, dibeli seharga Rp 350.000 di toko grosir.Semisal dikalikan lima, maka modal awal hanya Rp 1,7 juta dan mampu bertahan 2-3 tahun. " Setiap 2- 3 tahun, harus kita ganti yang baru karena bentuknya sudah kusam," jelasnya.

Rp 250.000/ Hari

 Kiat menjaring konsumen, lanjut Urip, seorang tukang ojek payung harus agresif mendekati para turis. Dengan melihat gestur sang turis, mereka biasanya mampu membedakan mana orang yang butuh proteksi sengatan matahari dan orang yang suka kulitnya semakin cokelat. Saat seseorang berjalan di tengah panas, bila yang bersangkutan berupaya melindungi wajahnya menggunakan tas atau benda lainnya, maka diyakini berpotensial untuk menjadi penyewa payung.

Memang, apa yang disampaikan oleh Urip benar adanya. Ketika matahari menyengat kulit, kawasan TWCB nyaris tanpa perlindungan karena pepohonan hanya ada di bagian bawah. Di sini, banyak ditemukan, baik wanita mau pun pria yang berupaya memproteksi kulitnya agar tidak disengat sinar ultraviolet. Sepertinya mereka tak ikhlas kulit mulusnya berubah jadi kecokelatan.

Yang tak butuh payung cukup lesehan di bawah pohon (foto: dok pri)
Yang tak butuh payung cukup lesehan di bawah pohon (foto: dok pri)
Sisi menarik dari keberadaan ojek payung adalah cara mensiasati agar payung miliknya tidak tertukar dengan milik tukang ojek lainnya. Menurut Urip, karena bentuk dan warnanya nyaris sama, maka masing- masing tukang ojek sengaja menuliskan namanya di ujung payung. Menggunakan kertas yang ditulisi spidol, selanjut dibalut lakban bening sehingga mudah dikenali.

Untuk menyewa payung, pengunjung hanya cukup bertransaksi di pintu masuk taman. Konon, pengojek payung memang dilarang keras memasuki kawasan ini. Setelah biaya sewa dibayar, payung dibawa naik ke bangunan candi yang merupakan peninggalan raja -- raja dinasti Syailendra tersebut. Sedangkan pengembaliannya, suka- suka penyewa, ada yang diserahkan di pintu keluar, namun banyak pula yang ditinggal begitu saja di areal candi.

" Biasanya sore hari, petugas TWCB akan mengumumkan temuan payung berikut nama- nama pemiliknya. Saat itulah kami mengambilnya ke dalam sesuai nama masing- masing," jelas Urip didampingi rekannya yang bernama Ngatimin.

Minimnya petugas membuat pengguna mobil kesulitan (foto: dok pri)
Minimnya petugas membuat pengguna mobil kesulitan (foto: dok pri)
Lantas bagaimana dengan in come yang didapat ? Urip menjelaskan, untuk penghasilan saat panas menyengat, sebenarnya sangat lumayan. Ia dan rekannya yang membawa 50 buah payung, sejak siang hingga sore hari, biasanya mampu mengantongi Rp 5.000 kali 50 atau Rp Rp 250.000 !. Wow ! Bagi warga pedesaan, tentunya angka itu teramat menggiurkan. Pantas saja banyak yang ikut- ikutan menekuni dunia perpayungan.

Itulah sedikit penelusuran tentang orang-orang yang cerdas dalam menangkap peluang rejeki di Kabupaten Magelang. Kendati sedikit berpanas- panas, namun faktanya duit yang berhasil ditangguk lebih dari lumayan. Saban bulan, mereka hanya dikenai kewajiban membayar restribusi sebesar Rp 15.000 perorang. Kreatifitas mereka, bakal terkendala ketika hujan mulai tiba.

Sementara untuk kawasan TWCB sendiri, kendati belakangan telah tertata rapi, bahkan taman menjelang pintu masuk dinyatakan bebas pedagang, namun sepertinya pengelola harus lebih menjamin kenyamanan pengunjung. Di mana, toilet yang merupakan bangunan baru, kondisinya relatif kotor padahal sekali pakai wajib bayar Rp 2.000. Begitu pun lahan parkir yang luas, ternyata tidak ditemukan petugas parkir satu pun. Pengguna mobil dipaksa mencari tempat kosong sendiri, salah- salah semisal body kendaraan penyok akibat terserempet mobil lain, maka sulit mengajukan protes. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun