Untuk menyewa payung, pengunjung hanya cukup bertransaksi di pintu masuk taman. Konon, pengojek payung memang dilarang keras memasuki kawasan ini. Setelah biaya sewa dibayar, payung dibawa naik ke bangunan candi yang merupakan peninggalan raja -- raja dinasti Syailendra tersebut. Sedangkan pengembaliannya, suka- suka penyewa, ada yang diserahkan di pintu keluar, namun banyak pula yang ditinggal begitu saja di areal candi.
" Biasanya sore hari, petugas TWCB akan mengumumkan temuan payung berikut nama- nama pemiliknya. Saat itulah kami mengambilnya ke dalam sesuai nama masing- masing," jelas Urip didampingi rekannya yang bernama Ngatimin.
Itulah sedikit penelusuran tentang orang-orang yang cerdas dalam menangkap peluang rejeki di Kabupaten Magelang. Kendati sedikit berpanas- panas, namun faktanya duit yang berhasil ditangguk lebih dari lumayan. Saban bulan, mereka hanya dikenai kewajiban membayar restribusi sebesar Rp 15.000 perorang. Kreatifitas mereka, bakal terkendala ketika hujan mulai tiba.
Sementara untuk kawasan TWCB sendiri, kendati belakangan telah tertata rapi, bahkan taman menjelang pintu masuk dinyatakan bebas pedagang, namun sepertinya pengelola harus lebih menjamin kenyamanan pengunjung. Di mana, toilet yang merupakan bangunan baru, kondisinya relatif kotor padahal sekali pakai wajib bayar Rp 2.000. Begitu pun lahan parkir yang luas, ternyata tidak ditemukan petugas parkir satu pun. Pengguna mobil dipaksa mencari tempat kosong sendiri, salah- salah semisal body kendaraan penyok akibat terserempet mobil lain, maka sulit mengajukan protes. (*)