Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lebaran Usai, Stok Maaf Masih Berlimpah

10 Juli 2016   12:28 Diperbarui: 10 Juli 2016   20:01 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: stok foto huffingtonpost.com

Bertubi-tubi ucapan selamat Idul Fitri dan permohonan maaf lahir dan batin masuk ke ponsel saya melalui WA, BBM, SMS, medsos seperti Facebook dan juga surat elektronik. Saya rasa demikian juga dengan Anda yang beragama Islam. Ucapan datang dari teman, kerabat, dan sahabat, baik Muslim maupun non-Muslim. Saking merasa repot, ada yang mengirimkan pesan selamat dan maaf model copas atau semacam broadcast ke semua kontak. Kadang tidak dipungkiri di antara kita merasakan ucapan permohonan maaf ini hanya sebuah basa basi belaka meskipun ini kategori suudzan, baik yang dikirimkan maupun yang diterima.

Ada ucapan khas Indonesia minal aidin wal faidzin yang tidak akan dipahami oleh orang Arab sendiri--dengan makna harfiah termasuk (orang-orang) yang kembali dan menang. Adapun dari sebuah sumber, kalimat panjangnya sesuai dengan tata kalimat Bahasa Arab adalah Ja alanallahu wa iyyakum minal aidin wal faidzin bermakna 'Semoga Allah menjadikan kami dan Anda sebagai orang-orang yang kembali dan menang'. Meski terasa berima dan enak diucapkan, minal aidin wal faidzin tidaklah sama maknanya dengan 'mohon maaf lahir dan batin'. Lucunya agar ringkas dan cepat, sering juga banyak orang hanya mengucapkan frasa minal aidin... minal aidin.... sepertinya mereka memang mau cepat-cepat kembali alias pulang, bukan berpulang.

Ucapan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para Sahabat menurut Ibnu Taimiyah sebagai doa adalah Taqabbalallahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian). Ucapan ini pun makin populer di kalangan Muslim Indonesia, bahkan juga non-Muslim untuk menggantikan ucapan minal aidin wal faidzin yang pernah diungkapkan sebenarnya sebagai potongan frasa sebuah syair.

Saling bermaafan pada saat lebaran di Tanah Air juga sudah menjadi kelaziman meskipun hakikatnya meminta maaf tidak harus dilakukan pada saat Idul Fitri. Tampaknya hal ini berlaku karena pemaknaan kembali pada kefitrian akan lebih afdol jika diiringi ucapan memohon maaf. Bahkan, kegaliban meminta maaf ini juga mulai terjadi pada saat hendak memasuki Bulan Ramadan. Ramadan-Syawal menjadi bulan untuk menyiapkan 'stok maaf' dan sejatinya stok itu tidak akan pernah habis meski dibagi-bagikan ke sebanyak mungkin orang dan sebaliknya dimintakan kepada sebanyak mungkin orang.

Seorang teman yang memiliki pemikiran kritis mempertanyakan untuk apa meminta maaf pas momentum Idul Fitri. Menurutnya minta maaf dapat dilakukan kapan pun tanpa harus menunggu Idul Fitri. Saya katakan bahwa pada hakikatnya manusia memerlukan momentum demi merayakan sebuah kemenangan kecil ataupun kemenangan besar. Tentu tiada salahnya momen lebaran dimanfaatkan sebagai momentum membersihkan hati dengan cara meminta maaf. Tentu saja bukan berarti minta maaf hanya dilakukan sekali setahun.

Memanglah naif rasanya jika stok maaf itu hanya dibagikan atau diminta pada saat Ramadan ataupun Syawal. Sementara itu, pada bulan-bulan lainnya kita enggan meminta maaf atau bahkan memberi maaf. Ada yang membuat joke, "Entar saja minta maafnya pas Lebaran," seolah maaf memang enteng untuk dimintakan atau diberikan.

Memberi maaf sendiri adalah amalan kecil yang luar biasa besar dampaknya. Setiap maaf selalu diiringi dengan sabar. Man shabara zhafira 'siapa yang bersabar akan beruntung'. Karena itu, para pemberi maaf pun adalah golongan orang-orang yang beruntung. Walaupun demikian, kadang kerelaan memberi maaf adalah "pekerjaan berat" dibandingkan meminta maaf itu sendiri--meski dapat pula terjadi meminta maaf menjadi pekerjaan berat. Ada level-level kesalahan seseorang yang menempatkannya sebagai orang yang perlu atau tidak dimaafkan.

Ibarat stok barang maka maaf pun punya kriteria sebagai maaf ori (orisinal), maaf KW 1, maaf KW 2, dan seterusnya. Ada permintaan maaf yang merupakan maaf basa basi, maaf setengah rela, maaf politis, maaf diplomatis, maaf pura-pura, dan maaf-maaf lainnya. Begitu pun yang memberi maaf dapat juga mengambil stok berupa pemberian maaf ikhlas, maaf seadanya, maaf terpaksa, maaf tergoda, dan maaf-maaf lainnya.

Zaman sekarang yang telah mengubah tatanan nilai-nilai juga menyodorkan kepada kita kasus seseorang atau sekelompok orang dipaksa untuk meminta maaf atau menyatakan maaf, bahkan harus diumumkan di media massa nasional dengan ukuran iklan permohonan maaf satu halaman koran atau paling tidak setengah halaman ditambah dimuat tiga kali berturut-turut. Maaf dengan ukuran berbasis materi seperti ini tampaknya sedikit banyak membuat puas orang yang dimintai maaf karena menyebabkan yang diberi maaf benar-benar harus menanggung akibat perbuatannya, termasuk kerugian materi.

Orang Jepang dengan budayanya yang penuh penghormatan kepada orang lain menunjukkan minta maaf dengan cara membungkukkan badannya, baik sambil berdiri ataupun sambil duduk bersimpuh hingga beberapa lama. Seorang pengusaha Jepang yang saya kenal mengisahkan sebuah peristiwa ketika anaknya yang masih bersekolah di SMA memukul teman sekolahnya hingga masuk rumah sakit. Sang pengusaha besar ini mendatangi rumah orang tua si anak korban pemukulan anaknya. Di sana ia duduk bersimpuh sambil membungkukkan badannya sampai beberapa lama. Ia tidak akan menegakkan badannya sebelum permohonan maafnya dikabulkan orang tua si anak tadi. Sebuah sikap yang dapat memberi efek menggetarkan dan mengharukan karena mereka yang meminta maaf benar-benar merendahkan dirinya secara ikhlas.

Urusan meminta maaf kadang masuk ke ranah urusan gengsi, termasuk juga urusan memberi maaf. Itulah mengapa tidak gampang untuk mendefinisikan hakikat maaf pada masa kini. Maaf masih dihubung-hubungkan dengan harga diri karena itu memang ada harganya. Sulit seseorang yang bersalah mau merendahkan dirinya untuk meminta maaf ketika ia memikirkan kedudukannya yang sangat terhormat, kecuali ia mendapatkan petunjuk (hidayah).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun