Mohon tunggu...
Bambang Trim
Bambang Trim Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Penulis Pro Indonesia

Pendiri Institut Penulis Pro Indonesia | Perintis sertifikasi penulis dan editor di Indonesia | Penyuka kopi dan seorang editor kopi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Kenali Lebih Dalam Seluk Beluk Dunia Editing dan Editor

22 September 2017   07:35 Diperbarui: 15 Oktober 2017   06:05 9962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:http://www.angelenaboden.com

Editing dan editor tidak dapat dipisahkan dari hidup saya sejak 1991 hingga kini. Tahun 2011, saya diundang organisasi Persatuan Editor Malaysia untuk menyajikan makalah tentang perkembangan editor di Indonesia. Namun, dibandingkan Malaysia dalam soal pendidikan penerbitan, kita masih kalah. Di Universiti Malaya, ada program S-1 hingga S-3 Ilmu Penerbitan. Saya berharap di samping menaruh perhatian soal pajak perbukuan, pemerintah juga menaruh perhatian untuk membangun infrastruktur perbukuan di bidang pendidikan, salah satunya adalah perguruan tinggi ilmu penerbitan. Hal ini penting untuk meniscayakan kekuatan daya literasi bangsa.

Awal September 2017 menandai kembalinya status saya sebagai dosen di Politeknik Negeri Media Kreatif (Polimedia), yang berlokasi di Srengseng Sawah, Depok. Saya mengajar mahasiswa semester III di Prodi Penerbitan untuk mata kuliah Editing II. Karena itu, pada pertemuan perdana, saya mengenalkan dulu dunia tulis-menulis sebagai objek dunia penyuntingan (editing), lalu makhluk seperti apa editor itu. Walaupun begitu, seperti saya duga, sebagian besar mahasiswa itu tidak pernah benar-benar sadar mengapa mereka memilih kuliah di Prodi Penerbitan. Umumnya prodi ini sebagai pilihan kedua dan beberapanya merasa "terperosok" masuk ke prodi ini.

Penulis hadir sebagai pemakalah pada Seminar Editor Malaysia (Dok. Penulis)
Penulis hadir sebagai pemakalah pada Seminar Editor Malaysia (Dok. Penulis)
Saya perlu mengingatkan mereka agar jangan membuang-buang waktu kuliah di Prodi Penerbitan. Semester III sudah harus memantapkan diri. Karena itu, saya mengawali dengan memberi tahu begitu besarnya peluang dan pasar kerja bagi mereka yang terampil di bidang ini. Maklum D-3 itu kan pendidikan vokasional yang diarahkan lulusannya untuk siap bekerja. Saya mengatakan kepada mereka bahwa cukup dengan menguasai menulis dan menyunting maka mereka akan dicari dunia industri, tidak harus spesifik industri penerbitan atau media.

Semua industri memerlukan kerja penulisan dan penyuntingan karena semua industri melakukan kegiatan publikasi tertulis. Ke depan kebutuhan ini akan semakin membesar. 

Dalam tulisan ini saya ingin kembali mengurai serbasedikit atau serbabanyak tentang editing dan editor. Mungkin sudah ada yang tahu atau melakoninya.

Editor yang paling lazim dikenal adalah editor nas atau editor naskah sebagai padanan dari istilah copy editor. Profesi ini selalu dikaitkan dengan media yaitu seseorang yang memeriksa dan memperbaiki tulisan sebelum dicetak atau dipublikasikan. Editing sebagai ilmu kemudian berkembang sehingga ada yang disebut dengan editing mekanis (mechanical editing), editing substantif (subnstantive editing), termasuk editing materi visual (pictorial editing).

Di negara lain, seperti Australia, Inggris, atau Amerika, editing diajarkan bersamaan dengan penulisan (writing) sehingga pada pendidikan vokasional (diploma) dikenal nomenklatur pendidikan Professional Writing & Editing. Jadi, editing tidak diajarkan secara berdiri sendiri. Adapun di Indonesia hanya Polimedia yang mengadakan prodi ini dengan nama Prodi Penerbitan (setingkat D-3). 

Sebelumnya, Fakultas Sastra Unpad pernah menyelenggarakan Prodi D-3 Editing sejak 1988, lalu ditutup pada tahun 2010. Perguruan tinggi lain yang pernah juga menyelenggarakan Prodi Penerbitan adalah Politeknik Negeri Jakarta. Namun, kemudian diubah menjadi Prodi Jurnalistik. Praktis kini hanya Polimedia yang menjadi penghasil tenaga terdidik secara formal untuk jabatan kerja penulis atau editor di bidang penerbitan.

Saya sendiri adalah lulusan Prodi D-3 Editing angkatan '91, Jurusan Bahasa Indonesia, Fakultas Sastra Unpad. Mengapa di Fakultas Sastra bukan di Fakultas Ilmu Komunikasi? Soalnya pendiri dan pelopor prodi ini adalah Pak Jus Badudu yang notabene Guru Besar di Sastra Indonesia Unpad kala itu. Bahasa tetaplah menjadi induk ilmu komunikasi, termasuk ilmu editing. Di Prodi Editing, mata kuliah terkait bahasa Indonesia hampir berimbang dengan mata kuliah nonbahasa. Saya dan teman-teman seangkatan masa itu menerima juga mata kuliah pengantar penerbitan, penyuntingan, bibliografi, penjurus (indeks), komposisi, pengantar grafika, tipografi, perwajahan, dan proses komunikasi. Jadi, sangat kental dengan muatan ilmu komunikasi.

Editing disebut sebagai seni dan keterampilan memperbaiki dan menata tulisan sehingga layak untuk dibaca. Dalam bahasa Indonesia, editing dipadankan dengan kata 'penyuntingan' dari kata dasar 'sunting'. 

Semestinya para penulis yang baik juga menguasai teknik penyuntingan atau editing mandiri (self-editing). Kalau kita lihat, kecenderungan beberapa penulis malah tidak mengedit dulu naskahnya sebelum dikirimkan atau dipublikasikan ke media. Alhasil, banyak kesalahan yang luput diperhatikan sehingga menurunkan nilai naskah.

Di media-media menengah dan besar, editor dipekerjakan, bahkan lebih dari satu orang. Dalam lingkup organisasi yang kompleks, editor malah terbagi-bagi lagi sesuai dengan jenjang dan tugasnya. Ada yang disebut editor akuisisi atau pemerolehan naskah (acquiring/acquisition editor) yang tugasnya mencari penulis dan mencari naskah. Ada editor pengembang (development editor) yang tugasnya mengembangkan naskah dari segi penyajian, desain, dan juga bentuk lain. Ada editor proyek (project editor) yang menangani satu proyek penerbitan tertentu. Ada juga editor yang khusus mengurus kontrak/perjanjian hak cipta (right editor).

Namun, yang paling umum seperti telah saya sebutkan adalah editor nas atau copy editor. Lulusan Prodi Penerbitan seperti Polimedia biasanya menempati posisi editor magang (editor trainee) atau asisten editorial (editorial assistant) saat baru bekerja. Tugas utama mereka adalah memeriksa dan memperbaiki kesalahan pada naskah atau pada cetak coba naskah (pruf) mendampingi editor nas.

Tujuh Fokus Editing

Editor berfokus mengedit pada tujuh hal berikut:

  1. keterbacaan (readablity) dan kejelahan (legibility) dari segi perwajahan dan tipografi pada naskah yang sudah didesain (pruf);
  2. ketaatasasan dari segi konsistensi penerapan kaidah-kaidah pada gaya selingkung (house style) penerbitan;
  3. kebahasaan dari segi ejaan, tata bahasa, dan perjenjangan usia;
  4. kejelasan gaya bahasa (ketedasan) dari segi kemudahan naskah untuk dipahami;
  5. ketelitian data dan fakta dari segi akurasi, validitas, dan relevansi;
  6. kepatuhan hukum (legalitas) dan kepatutan dari segi penghormatan terhadap hak cipta orang lain dan penghindaran konten berbahaya;
  7. ketepatan rincian produksi dari segi spesifikasi produk yang akan diterbitkan.

Walaupun hanya tujuh hal yang menjadi fokus editing, tidak semua editor pemula atau junior diperkenankan untuk memeriksa dan memperbaikinya. Ada fokus yang memang hanya dapat dilakukan oleh editor senior karena terkait dengan pengetahuan, keterampilan, dan tentu saja jam terbang atau pengalaman. Anda dapat melihat multidisiplin ilmu digunakan para editor, tidak hanya ilmu bahasa.

Di dalam kode etik editor hal yang dianggap fatal adalah ketika editor mengedit suatu konten yang sudah benar menjadi salah. Ini sering terjadi karena pemikiran dangkal atau persepsi yang terbatas dari seorang editor. Editor yang melakukannya sering tidak termaafkan dan mendapatkan sanksi berat.

Kompetensi Membaca dan Menulis

Kompetensi utama seorang editor adalah kemampuan membaca dan menulis--kalau perlu, di atas rata-rata. Ya, karena pekerjaan sehari-harinya adalah membaca. Terkadang ia menggunakan teknik membaca cepat, terkadang membaca analitis, dan terkadang membaca sintopikal (teknik membaca beberapa bahan bacaan, lalu menghubungkan semuanya dalam suatu karya baru).

Sangat lucu, tetapi tidak ringan, jika seorang editor sok-sokan mengedit dan memberi saran kepada penulis sementara dia sendiri sama sekali tidak mampu menulis. Karena itu, semasa kuliah dulu, saya membangun kompetensi menulis bersamaan dengan pengetahuan dan keterampilan di bidang penerbitan, termasuk editing. Kemampuan menulis terus saya asah sehingga mampu menjebol gawang redaksi koran nasional dan juga menjuarai beberapa lomba penulisan.

Penulis akan respek terhadap editor yang juga seorang penulis. Itu kunci saya untuk berkomunikasi dan berdiplomasi dengan para penulis yang terkadang karakternya berbeda-beda. Ada penulis yang gampangan alias menyerah sebelum berjuang. Ada penulis yang jaim dan sulitnya minta ampun karena enggan disalahkan serta selalu menyebut-nyebut ia lebih berpengalaman dengan sederet titel di depan dan belakang namanya. Tentu ada juga penulis yang fleksibel--enak untuk diajak berdiskusi serta mau menerima masukan dan yang penting mengerjakannya.

Nasib Editor dan Asosiasi Editor

Hal yang sering saya ulang bahwa editor sudah menjadi nasibnya untuk berada dalam senyap di antara gebyar popularitas sebuah tulisan atau buku. Penulisnyalah yang akan populer meskipun buku itu sedikit banyak adalah hasil kerja editor. Kalau editor mau ikut terkenal, ya dia harus menulis buku juga. Jadi, jangan pernah berharap ia akan dielu-elukan seperti penulis.

Berarti editor juga tidak dapat semakmur penulis? Itu takdir yang dapat diubah karena bukan berarti editor itu sehabis ngedit harus naik motor (melulu). Sekali-sekali menjadi "editbil" sehabis ngedit naik mobil--artinya ya punya mobil. Nah, ini berhubungan dengan standardisasi kompetensi. Honor atau tarif editing itu harus jelas karena editing juga tingkatannya ada tiga: editing ringan, editing sedang, dan editing berat. Selain itu, standar kompetensi juga menegaskan adanya level editor sehingga berpengaruh terhadap jenjang karier editor. 

Bayangkan pada kasus editing buku-buku pelajaran, kerap kali editor harus menulis ulang naskah yang ditulis centang perenang. Penulisnya tenang-tenang saja mendapatkan "nama" dan tentu saja royalti. Dalam kasus ini, editing yang dilakukan sudah editing berat yang tentunya honornya harus lebih besar dari editing ringan (yang sekadar membetulkan ejaan dan tata bahasa).

Jadi, status profesi editor di negeri ini hanya dapat dibenahi dengan standardisasi kompetensi, sertifikasi, dan terakhir adanya asosiasi. Beruntung di Polimedia saya bertemu dengan salah seorang begawan editor Indonesia, Pak Frans M. Parera. Beliau adalah pencetus Ikatan Penyunting Indonesia (Ikapindo) pada saat Kongres Perbukuan Nasional I tahun 1995. Sayang kemudian Ikapindo tidak terdengar namanya dan belum sempat dikukuhkan sebagai organisasi resmi.

Rencana ke depan, saya bersama beliau hendak menghidupkan lagi Ikapindo, entah dengan nama yang sama atau nama yang berbeda. Polimedia akan menjadi tempat deklarasi bagi para editor. Hal ini juga menjadi jawaban atas amanat UU No. 3 Tahun 2017 yang mendorong pelaku perbukuan membentuk asosiasi profesi. 

***

Editor adalah "makhluk langka" dalam dunia literasi yang juga harus diperhatikan di samping para penulis. Mereka berfungsi sebagai palang pintu atau bahkan "anjing penjaga" bagi penulis dan penerbit. Banyak orang yang mendoakan para penulis, tetapi mungkin tidak untuk editor. Karena itu, semoga tulisan ini dapat menyadarkan para penulis, terutama penerbit akan arti kehadiranmu, wahai editor ....[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun