Pagi tadi masih kulihat coretan "setia selamanya" di pohon itu. Tapi sekarang hanya untuk dikenang. Kejengkelanlah yang mampu menorehkan luka itu. Di situ, di kulit pohon itu.
Dalam bahasa kulit pohon, setia membawa luka. Sehari-hari masih butuh sinar mentari. Tapi selalu berubah di pagi, siang, dan sore hari.
Tatkala pagi, setia tulus berseri-seri. Jika siang, mulai melirik cari peluang. Jika malam, merasa bahwa selingkuh itu aman. Lupa sesaat bahwa kita masih sepasang.
Setia itu senjata bagi umumnya pria. Ia dapat disetel sesuka-suka. Â Apalagi jika berpunya. Kesempatan kapan pun mungkin dibuat ada.
Saat khusyuk berdoa di pusaramu aku mengaku. Di depan bercitrakan setia, di belakang, mencari celah agar aman bertingkah.
Makna setia menjadi berbeda-beda. Jika dulu seni menipu, kini saat untuk realistik selalu.