Menyongsong kedatangan Tahun Baru 1443 Hijriyah atau 1 Sura 1955 Selasa Pon tanggal 10 Agustus 2021 nanti, beberapa daerah masih tetap merayakannya dengan menghidangkan "Bubur Suran".
Konon tradisi budaya tersebut peninggalan Wali. Budaya tetap dilestarikan agar tetap berdampingan serasi dengan nilai luhur agama.
Bubur dijadikan lambang keluhuran budi. Tradisi tetap dibiarkan lestari dan serasi.
Sebagai bubur, tentu khasanah kulinernya bisa dikenang lama. Saat pergantian tahun, tidak wajib dirayakan dengan hanya berhura-hura saja.
Di Pekalongan misalnya. Menunya memang khas bernas. Seperti halnya menu bubur untuk tradisi Muludan dan Syawalan.
Bubur berasnya sendiri sudah istimewa. Gurih karena bersantan. Belum lagi aroma wangi dan segar khas rempah yang komplit. Cengkih, jahe, jinten, ketumbar, kemiri, kunyit, dan pala.
Ragam lauk juga. Ada dadar telur, suwiran ayam goreng, abon, udang goreng, perkedel kentang, rempah, kacang panjang  timun dan kemangi, dan kedelai goreng.
Yang dimaksud rempah adalah singkong kukus berbumbu bawang, lada, dan garam. Dibentuk seperti bola mini, lalu digoreng.
Di daerah lain, ragam lauknya berlain-lainan. Gresik, Jember, Banyuwangi. Masing-masing punya  andalan lauk sendiri.
"Di sekitar Jember, lauknya kare ayam, kering tempe, rajangan telur dadar, kedelai hitam, kacang tanah goreng, dan krupuk udang", kenang teman yang saat ini tinggal di Jogja.
Karena termasuk tradisi, tak ada aturan yang sangat mengikat. Tak ada juga penilaian salah benar. Niatnya hanya satu. Menyambut tahun baru, dengan menu klangenan yang enak dan lezat. Orang bilang bubur itu kuliner luhur pun boleh-boleh saja.