Aku Hampir Resign: Saat Anak Sakit dan Dunia Menuntut Aku Tetap Kuat
Jam 02.17 dini hari. Aku terbangun oleh suara batuk keras dari kamar sebelah. Jantungku berdebar. Aku bergegas ke kamar anakku---si bungsu, usia 4 tahun---dan menemukannya berkeringat dingin, tubuhnya panas, napasnya tersengal. Termometer menunjukkan angka 39,4C.
Aku buru-buru menyiapkan kompres, memberinya obat penurun panas, dan menenangkan tangisnya yang lelah. Di sela-sela itu, otakku berlari kencang:
"Besok presentasi besar di kantor. Proyek 6 bulan. Klien dari luar negeri. Aku tidak bisa absen."
Tapi bagaimana mungkin aku pergi, sementara anakku butuh diawasi setiap jam?
Pagi yang Penuh Konflik Batin
Jam 06.00. Anakku masih demam, tapi sudah lebih tenang. Istriku---yang pergi lima tahun lalu---tidak ada untuk menggantikanku menjaganya. Aku sendiri yang harus memutuskan: pergi ke kantor atau tinggal di rumah?
Aku menelepon atasan.
"Anakku sakit, Pak. Mungkin aku harus izin hari ini."
Jawabannya datar:
"Ini proyek prioritas, Bang. Kalau kamu nggak datang, siapa yang presentasi? Tim lain sudah siap, tapi mereka butuh kamu."
Aku terdiam. Di satu sisi, aku tahu betapa pentingnya proyek ini---bukan hanya untuk perusahaan, tapi juga untuk karierku yang sedang di ujung tanduk. Di sisi lain, aku adalah satu-satunya orang yang bisa menjaga anakku.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!