Pagi itu, 17 Oktober 2012, langit Jakarta kelabu. Bukan karena hujan, tapi karena hatiku yang runtuh. Istriku---satu-satunya teman bicara, mitra hidup, dan pengurus rumah tangga---meninggal dunia setelah berjuang melawan komplikasi penyakit yang datang tiba-tiba. Aku ditinggalkan bersama tiga anak: yang paling besar baru kelas 5 SD, yang tengah kelas 2, dan si bungsu baru berusia 3 tahun.
"Ayah, kapan Ibu pulang?"
Pertanyaan itu menghantamku setiap malam. Dan aku tak punya jawaban yang tak membuat mereka menangis.
Tiba-tiba, aku harus menggantikan peran yang tak pernah kubayangkan: menjadi ibu sekaligus ayah. Masak, cuci baju, urus sekolah, antar-jemput, bahkan menenangkan anak yang demam tengah malam---semua harus kulakukan sendiri, sambil tetap bekerja penuh waktu.
Tidak ada pelatihan untuk ini. Tidak ada manual. Hanya insting dan rasa takut kehilangan mereka juga.
---
Rumah yang Dulu Hangat, Kini Sunyi
Sebelum kepergiannya, rumah kami selalu penuh suara tawa. Istriku punya cara ajaib membuat nasi sisa jadi lauk istimewa, mengingatkan anak-anak minum susu tanpa marah, dan menyiapkan bekal sekolah dengan catatan kecil:Â "Semangat, Nak!"
Setelah ia pergi, rumah itu berubah. Â
Pagi hari jadi kacau: anak-anak berebut kamar mandi, seragam belum disetrika, bekal lupa disiapkan. Â
Malam hari, aku duduk sendiri di dapur, memandangi tumpukan piring kotor, sambil menahan tangis agar anak-anak tak mendengar.
Yang paling menyakitkan bukan kelelahan fisik, tapi rasa bersalah. Â
"Apakah aku cukup baik menggantikan Ibu?"
"Apakah mereka merasa kehilangan kasih sayang?"