Setahun setelah kepergian istri pertamaku, aku menikah lagi. Bukan karena ingin melupakan, tapi karena anak-anak butuh sosok ibu---seseorang yang bisa memeluk mereka saat sakit, menyiapkan bekal sekolah, dan menenangkan mereka di malam gelap.
Istri keduaku bukan pengganti. Ia adalah mitra baru dalam membangun kembali rumah yang pernah runtuh. Ia memahami luka kami, dan dengan sabar, ia belajar mencintai anak-anakku seperti anak kandungnya sendiri.
"Aku nggak datang untuk menggantikan siapa-siapa. Aku datang untuk menjaga kalian semua," katanya di hari pernikahan kami.
Hari ini, anak-anakku tumbuh sehat, ceria, dan penuh percaya diri. Mereka masih menyebut almarhumah ibu mereka dengan penuh cinta---dan itu membuatku lega. Artinya, kami tidak melupakan, tapi kami belajar hidup lagi.
---
Penutup: Ayah Bukan Sempurna, Tapi Selalu Ada
Menjadi ayah tunggal bukan soal kekuatan fisik. Â
Ini soal bertahan meski hati remuk, Â
tersenyum meski ingin menangis,Â
dan terus berjalan meski kakimu lelah.
Kepada semua ayah yang sedang berjuang sendiri: Â
Jangan menyerah.
Karena di balik setiap piring kotor yang kamu cuci, ada anak yang belajar arti tanggung jawab. Â
Di balik setiap malam tanpa tidur, ada cinta yang tak terlihat tapi nyata.
Dan jika suatu hari anak-anakmu bertanya, "Ayah, kenapa kamu tetap bertahan?"
Aku akan jawab: Â
"Karena kalian adalah alasan terkuat untuk tidak menyerah pada hidup."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI