"Di dunia yang semakin digital, anak-anak kita masih diajarkan cara menghitung luas bangun datar. Tapi siapa yang mengajarkan mereka cara mengenali hoaks?"
Bayu, siswa SMP di pinggiran kota, aktif di media sosial. Ia bisa membuat konten TikTok, bermain game daring, dan mengedit video. Tapi ketika ditanya apa itu phishing, atau bagaimana melindungi data pribadi, ia hanya menggeleng. Bayu bukan satu-satunya. Ia adalah potret jutaan anak Indonesia yang melek teknologi tapi buta literasi digital.
Literasi Digital: Lebih dari Sekadar Bisa Pakai Gadget
Literasi digital bukan sekadar kemampuan mengoperasikan perangkat. Ini tentang berpikir kritis terhadap informasi, menjaga etika dan keamanan digital, memahami jejak digital dan privasi, serta membedakan fakta dan opini, hoaks dan kebenaran.
Di era digital, yang tak mampu memilah informasi akan tenggelam dalam kebisingan.
Data yang Mengkhawatirkan
Menurut survei Katadata Insight Center, hanya 29% pelajar Indonesia yang memiliki literasi digital memadai. Sementara itu, penyebaran hoaks meningkat 40% selama tahun ajaran baru, terutama di kalangan remaja. Cyberbullying dan penipuan digital makin marak. Anak-anak menjadi korban, bukan karena bodoh, tapi karena tidak dibekali pengetahuan yang cukup.
Contoh Kasus: Ketika Hoaks Menjadi Pelajaran Pahit
Pada November 2023, enam pelajar SMA di Jakarta Utara ditangkap polisi karena menyebarkan hoaks ancaman bom di Koja Trade Mall melalui media sosial Instagram. Mereka mengatasnamakan teroris terkenal dan menyebarkan pesan ancaman yang membuat panik pengunjung dan manajemen. Polisi menyatakan bahwa tindakan itu awalnya dianggap "main-main". Tapi dampaknya nyata: ketakutan publik, intervensi aparat, dan proses hukum.
Dampak Nyata: Ketika Hoaks Merusak Ruang Belajar
Menurut Dermawati, Pengawas Sekolah Dinas Pendidikan Provinsi Lampung, hoaks di dunia pendidikan memiliki dua dampak besar:
1. Terhadap siswa: Menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian informasi, mengganggu motivasi belajar, menciptakan ketakutan dan keresahan sosial.
2. Terhadap guru dan institusi pendidikan: Menurunkan kredibilitas sekolah, menjadi tantangan dalam menyampaikan informasi yang benar, memicu konflik internal akibat misinformasi.
Penutup: Pendidikan Harus Menjawab Tantangan Zaman
Jika sekolah tidak mengajarkan cara berpikir kritis di dunia digital, maka anak-anak kita akan belajar dari algoritma, bukan dari guru. Literasi digital bukan sekadar pelajaran tambahan. Ia adalah benteng terakhir agar ruang belajar tetap sehat, agar siswa tetap waras di tengah banjir informasi.