"Cekap Yah!" sela Tika. "Terpenting Ayah dan Ibu tetep merestuiku. Soal Tante Nunuk, besok saya sendiri yang akan menjelaskannya."
"Kenapa Tante Nunuk memakai kasus kegagalan rumah tangga Lastri sebagai dasar klaimnya, bahwa semua perkawinan antar etnis itu pasti rapuh? Bukankah sesama suku pun pasti ada juga yang gagal? Harusnya Tante obyektif, bahwa pada perkawinan mana pun, pasti ada yang langgeng, dan ada pula yang hancur. Tapi yang awet sampai mati, pasti masih jauh lebih banyak ketimbang yang karam." Pikiran-pikiran serupa itu yang memadati kepalanya saat menuju ke rumah tantenya.
Maka begitu sampai, langsung saja terjadilah baku debat di situ. Kedua perempuan yang sama-sama cantik itu, awalnya sama-sama ngotot mempertahankan pendapatnya masing-masing. Namun akhirnya Nunuklah yang melunak. Malah pada ujungnya ia menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada Tika. Lagian, memang bukan dia yang menjalankannya.
"Maaf ya Tante! Sukses atau hancurnya sebuah rumah tangga itu, bukan terletak pada kesamaan atau perbedaan etnisnya. Tapi lebih karena mampu atau tidaknya pasutri itu mengatasi masalah yang menerpanya. Jadi biarkanlah kami membangun kehidupan kami sendiri, Tante!" Begitulah Cantika Hapsari mengakhiri pembicaraannya.
***
Di hari Sabtu ini, setelah mengerjakan semua agenda rutinnya, Tika segera menjalankan agenda istimewanya. Apa? Apalagi kalau bukan menemui sang calon pangerannya, Timotius Narang. Maka meluncurlah ia ke rumah si pengacara muda ganteng itu.
Begitu masuk rumah Timo, Tika langsung rebahkan tubuhnya yang ramping ke atas sebuah kursi di ruang tamu. Lantas segera saja ia menangkap sebuah pemandangan di atas meja, yang memantik rasa keponya.
"Kok ada 2 cangkir kopi dan sisa kentang goreng, baru kedatangan tamu ya, Kak?"
"Iya si Sofie. Baru saja ia pulang 5 menit sebelum Dinda datang..."
"Sofie? Sofie yang mana ya?"
"Ya Sofie teman kuliahmu itu."