"Sudah tenang saja Tika sayangku! Gak mungkinlah aku seperti itu! Biarlah anjing-anjing itu menggonggong. Yang penting 'khafilah kita' tetap melenggang ria!"
"Tapi tak mungkin ada asap kalau tak ada api, Kak!"
"Ya biarin saja! Orang mereka sendiri yang jadi api sekaligus asapnya. Nuruti orang-orang gila seperti itu, kita sendiri bisa jadi gila nantinya. Sebab itu, ya cuekin saja!"
"Ya, tapi ini menyangkut keselamatan jiwaku, Kak!"
"Gak sampai segitunya 'kali? Itu cuma gertak sambal mereka saja. Lagian, mereka itu cuma pengecut saja kan? Buktinya mereka gak berani tunjukin identitasnya."
"Sekarang begini saja deh," redam Timo, "Tika lebih percaya pada Kakak yang jelas-jelas menyayangimu, atau percaya pada makhluk-makhluk yang tak jelas itu?"
Gadis ayu itu tak menjawab. Ia seperti berpikir keras. Lantas mengangguk-anggukkan kepalanya sendiri. Kemudian segera saja ia merebahkan kepalanya ke dada kekasihnya.
***
Minggu ini, Tika pulang mudik ke kota kelahirannya. Selain untuk menjenguk ayah bundanya, kepulangannya juga untuk menghadiri pernikahan Riri, sepupunya. Dan selewat acara resepsinya, segera saja Tika diminta ayah dan bundanya untuk rembug keluarga.
"Mumpung kamu ada di sini, aku dan ayahmu mau ngomong tentang hubunganmu dengan Timo. Apa kalian bener-bener sudah saling cinta dan saling cocok to, Nduk? Kok sudah rencanakan pernikahan segala?"
"Lha tentu sampun to Bun! Makanya bulan depan, rencananya Kak Timo akan ke sini. Dia mau melamar Tika..."