Sebelum semua anaknya berumah tangga, tugas parenting belumlah purna. Begitulah anggapan sebagian para orang tua sepuh. Dan sebelum tugas keorangtuaan itu tuntas, kebanggaan mereka pun belumlah paripurna.
Setidaknya, itulah yang dirasakan oleh ayah dan bundaku saat ini. Sehingga tak jemu-jemunya mereka mendesakku untuk segera menikah. Sesungguhnya aku sudah pernah katakan pada beliau, bahwa aku sudah sangat siap. Bahkan aku sudah seperti "kebelet banget" menikahi Anna Karenina. Namun, dianya yang belum siap. Katanya, masih menunggu waktu terbaiknya.
"Bagaimana kalau aku dan bundamu yang nemuinya? Atau Anna yang kamu ajak ke sini?" tanya ayahku.
"Maksudnya kados pundi, Yah?"
"Ya untuk diskusikan niatmu memperistrinya itu!"
"Matur suwun Ayah! Sudah dua kali saya sampaikan niat saya itu kepadanya. Jawabannya, ia tidak menolaknya. Namun, secara eksplisit dia memang belum menerima saya. Mungkin cuma soal waktu saja, Yah! Maksud saya, setelah Anna nanti secara gamblang menerima saya. Artinya, dia pun juga cintai saya. Maka ayah dan bunda, baru saya antar ke sana untuk melamarnya....."
"Itu bagus! Namun, kalau aku dan bundamu ke sana, apa itu tidak lebih bagus lagi, Dit? Bukankah itu akan lebih yakinkan dirinya?"
"Mestinya ya begitu, Yah. Namun, menurut saya, itu juga riskan banget! Kalau diterima, mboten masalah. Kulo remen sanget! Tapi kalau enggak diterima? Yang kecewa bukan hanya saya, tapi Panjenengan berdua ikut malu juga."
***
Cinta telah benar-benar memenjarakanku! Waktu dan pikiranku, seminggu ini, seolah telah dirampasnya semuanya. Sampai hampir-hampir aku tak mampu bernuat lain, kecuali memikirkannya saja.
"Oh ya, aku jadi ingat saran Hari tempo hari. Bahwa aku harus sudah mulai mendiskusikan dengannya tentang rencana pembaptisanku. Karena bagaimana pun, Anna pasti ingin memastikan otentisitas kekristenanku. Sebab itu, aku harus secepatnya ke rumahnya!" tekadku pada diriku sendiri.