Mohon tunggu...
Bambang Suwarno
Bambang Suwarno Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Mencintai Tuhan & sesama. Salah satunya lewat untaian kata-kata.

Pendeta Gereja Baptis Indonesia - Palangkaraya Alamat Rumah: Jl. Raden Saleh III /02, Palangkaraya No. HP = 081349180040

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bosku Cantik Sekali (3-Selesai)

24 Januari 2019   07:37 Diperbarui: 24 Januari 2019   08:20 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sangat, sangat, sangat penting dan genting! Begitulah kata kakakku tadi di telepon. Dari nada dan volume suaranya, tersirat kegeraman yang serius. Dan sepertinya kemarahannya itu ditumpahkannya padaku. Pasti ini hal yang sangat krusial. Tapi soal apa?  Jika itu menyangkutku, memang aku kenapa?

Sepanjang perjalananku menuju ke Kafe Lily, rasa penasaran itu terus saja mengaduk-aduk hatiku. Begitu sampai dan masuk ke ruangan, mataku langsung menyapu ke setiap bagian dan sudutnya. Ternyata Mas Agus belum ada di sini. Lalu kupilih saja sebuah meja yang terletak di dekat dinding kaca depan. Mengapa? Agar aku bisa leluasa melihat apa pun yang terjadi di luar.

Sejurus kemudian tibalah Mas Agus di kafe ini. Langsung saja dia menghampiriku. Ia duduk persis di depanku. Jadi posisi kami saling berhadap-hadapan. Terlihat wajahnya sangat kaku dan beku. Sungguh, tak biasanya ia seperti itu. Ini yang pertama kalinya kulihat.

Setelah beberapa kali menyeruput Americano panas, ia langsung buka suara:

"Kamu masih cinta sama istri dan anak-anakmu?"

"Ya, jelas dong Mas..."

"Aku tak percaya!" sahutnya ketus, bagai petir yang menyambar telak ke dadaku.

"Lho, kok?"

"Jadi tujuanmu bekerja itu ternyata hanya untuk memuaskan hasrat erotismu saja, ya?" pertanyaan yang keras ini benar-benar mengagetkan sekaligus menohok hatiku.

"Maaf, sekali Mas! Aku belum paham yang Sampean maksudkan...."

"Siapa wanita muda yang kau ajak makan siang tadi?"

"Oh, itu to? Kalau itu, dia adalah bosku. Bukan aku, tapi dia yang mengajakku..."

"Bos kok mesra gitu. Aku tak tahu, apa kamu yang mulai nakal, atau bosmu itu yang......" ia tak teruskan kata-katanya. Tapi arahnya sudah bisa kutebak. Pasti Mas Agus mendapat informasi yang menyesatkan.

"Kalau saja hanya dari kata orang, tentu aku tak gampang percaya," jelasnya, "Tapi aku sendiri, dengan mata kepalaku sendiri, dengan sangat jelas melihat wanita muda itu nggelendot di lenganmu. Itu artinya apa...?"

"Mas Agus melihat itu di mana?" tanyaku untuk mengetesnya.

"Aku melihatnya dari kafe ini juga tadi siang. Dengan jelas aku melihat kalian berdua turun dari mobil, lalu masuk ke Griya Sate sebelah. Untuk meyakinkan penglihatanku, aku sengaja menunggu lama di sini sampai acara kalian kelar. Sampai kalian keluar dan masuk mobil kembali."

Keruan saja aku langsung memberikan klarifikasi untuk meluruskan kesalahpahamannya. Kujelaskan kejadian tadi siang itu apa adanya. Tak kutambahi atau kukurangi. Termasuk keterkejutanku sendiri atas 'keberanian' Debora yang tiba-tiba menggelendot di lengan kiriku.

"Aku sendiri tak tahu apa maksud dari sikap 'manjanya' itu, Mas. Kan nggak mungkin aku yang pegawainya, langsung menepis dan mengelaknya?"

"Tapi bener kamu tak ada affair dengannya?" tanyanya menyelidik.

"Percaya deh, sama adikmu ini!"

"Namun, bagaimana pun juga sikapnya tadi tak boleh dilanjutkan. Kamu harus dengan halus dan bijak memberi pengertian kepada bosmu itu. Bahwa itu sangat berpotensi memicu munculnya beragam persepsi dan spekulasi orang lain. Ya kalau persepsinya benar, kalau tidak? Terus bagaimana kalau sampai jadi viral? Bukankah itu bisa menjadi malapetaka bagi rumah tanggamu?"

"Baik, Mas! Secepatnya akan kubicarakan dengan Debora." Janjiku.

"Pesanku, kasihi Rini dan anak-anakmu sepenuh jiwa ragamu. Jadi, jangan pernah sakiti hatinya! Awas kalau kamu macam-macam!" pesannya mewanti-wantiku.

Aneh juga sikap kakak kandungku itu. Dia sendiri sampai kini belum mau menikah. Tapi pesannya saklek banget terhadap orang yang sudah berumah-tangga sepuluh tahun.

                              ***

Sesampai di rumah, aku sudah sangat letih jiwa ragaku. Dalam kondisi seperti itu, aku sama sekali tak tertarik untuk melakukan apa pun, kecuali rebahan saja di ranjang. Penginnya bisa segera tidur, tapi ternyata tidak bisa. Mataku bisa terpejam, tapi otakku tetap terjaga. Penyebabnya adalah kesalahpahaman dan amanat dari Mas Agus tadi. Bahkan ditambahi dengan ulah aneh dari perempuan gila tadi siang. Dua-duanya seperti mendakwaku. Ya, mendakwaku telah berselingkuh dengan Debora.

Namun, kalau dirunut kembali, semuanya memang bermula dari sikap manja bosku yang cantik itu. Akibatnya, siapa pun yang melihatnya, pasti bisa berspekulasi macam-macam. Akh, Debora, Debora....kenapa kau jadi menyusahkanku begini? Semoga saja hal ini tidak sampai diketahui Rini, istriku.

                               ***

Sepanjang perjalanan pulang dari kantor ke rumah, aku seperti merasakan ada sesuatu yang tak beres yang sedang terjadi. Ternyata feeling-ku benar. Mengapa? Karena begitu masuk rumah, tak ada lagi penyambutan ceria dari Rini, Dono dan Dini. Rumah yang biasanya semarak, kini tampak senyap. Yang ada cuma Niko yang sibuk main game.

"Niko, mana Mbakyumu dan anak-anak, kok sepi?"

"Ke rumah Borobudur, Kak!" jawabnya. Yang dimaksud rumah Borobudur adalah rumahnya ayah dan ibu mertuaku.

"Sejak kapan ke sana dan apa tinggalkan pesan?"

"Sejak tadi siang. Mbak Rini ngomong lagi capek, dan pengin istirahat di sana."

Lagi capek? Capek habis ngerjain apa atau karena apa? Lagian kalau mau istirahat, kenapa harus di sana? Bukankah di rumah sendiri lebih temteram dan lebih leluasa?

"Lalu kamu sendiri ngapain kok nggak ke resto?" tanyaku lagi.

"Restonya sengaja ditutup sejak siang tadi, Kak. Mbak Rini yang perintahkan...."

Kenapa sampai menutup restoran segala? Sungguh aku kian tak paham. Lebih-lebih ponsel istriku pun tak diaktifkan. Sebenarnya, aku hampir tak pernah bicara dengan bapak dan ibu mertuaku lewat ponsel. Kalau aku perlu bicara, ya langsung sowan ke beliau. Tapi kali ini terpaksa aku harus menelepon beliau dulu.

"Halo, selamat sore Bapak!"

"Ya, sore juga!"

"Mau tanya, apa benar Jeng Rini dan anak-anak ada di rumah Bapak?"

"Ya, benar!" pendek sekali jawabannya.

"Terima kasih Bapak. Kalau begitu saya akan segera ke sana..."

"Kamu tak usah ke sini dulu. Biar istrimu istirahat dulu di sini..." Aku tak boleh ke sana?

"Apa Jeng Rini sedang sakit, Bapak?"

"Bener, dia sedang sakit hati....dan katanya, kamulah yang menyakitinya..."

"Maaf Bapak, ijinkan saya ngomong sebentar sama dia..."

"Sebelum semuanya klir, dia tak mau ngomong dulu denganmu." Tegasnya.

"Justru saya pengin ngomong dengannya agar semuanya bisa jadi jelas, Bapak. Agar saya bisa tahu persis apa masalahnya. Dan bisa mencari solusinya..."

"Sementara ini, aku yang diminta untuk mewakilinya."  

Istriku lagi sakit hati? Dan akulah yang menyakitinya? Haah, yang benar saja! Wah, ini benar-benar sangat gawat dan genting. Lebih genting dari kesalahpahamannya Mas Agus kemarin.

Karena tak boleh ke sana dulu, dan bicara per telepon pun tak mau, maka terpaksa aku minta penjelasan ayah mertuaku lewat telepon saja. Dan inilah penjelasan beliau:

Tadi siang, istriku mendadak marah dan sakit hati setelah menerima informasi bahwa aku telah bermesraan di muka umum dengan bosku sendiri, Debora. Informasi itu dilengkapi juga dengan beberapa buah foto ketika Debora menggelendot di lenganku.

Tentu aku pun ganti menjelaskan ke beliau tentang peristiwa kemarin itu, apa adanya. Kumohon beliau meneruskannya kepada Rini. Harapanku, agar ia percaya dan memahami posisiku. Persis seperti yang kulakukan terhadap Mas Agus kemarin yang juga marah padaku.

Celakanya, menurut bapak mertuaku, Rini sama sekali tak mempercayainya. Lantas aku harus bagaimana? Aku benar-benar pusing seribu keliling. Kepalaku rasanya sudah mau meledak saja.

                               ***

Mau tak mau, Yanes dan istrinya yang kupaksa untuk mendatangi istriku di rumah Borobudur. Sebagai pihak yang netral dan cukup disegani Rini, kuharap mereka bisa membantu meredakan prahara ini. Dan malam ini pula, pasangan suami istri bosku itu langsung meluncur ke sana.

"Maaf, Yo aku tak berhasil," kata Yanes via ponselnya,"Sudah kujelaskan panjang lebar padanya. Tapi tampaknya istrimu lebih percaya pada foto-foto itu."

"Atau bagaimana kalau aku resign saja dari pekerjaan? Mungkin dengan cara itu, Rini tak cemburu dan tak curiga lagi padaku...." Kulontarkan ide itu karena aku sudah seperti hilang akal.

"Mungkin saja itu pilihan terburuknya." Komentar Yanes, seperti putus asa juga.

                               ***

Pagi ini, sesudah aku memanjatkan doa rutinku, pikiranku yang sebelumnya ruwet, tiba-tiba merekah cemerlang. Aku seperti diberi oleh Gusti Yesusku sebuah gagasan brilian. Maka, meski Debora baru saja berangkat ke rumah orang tuanya di ibukota, aku langsung menelponnya. Kujelaskan semua masalah pelik yang menimpaku. Kujelaskan juga, bahwa pemicu semuanya itu adalah menggelendotnya dia di lenganku lusa yang lalu.

"Wah, aku dong yang jadi penyebabnya? Baik, kalau begitu aku nanti yang memberi klarifikasi langsung ke Kak Rini."

"Makasih Deb! Tapi kapan kamu balik ke sini?"

"Ya setelah semua urusanku tuntas." Jawabnya enteng saja.

"Mohon usahakan secepatnya ya, Deb?"

"Oke, kutelpon saja Kak Rini sekarang juga. Akan kujelaskan apa alasanku merangkul lengan Mas. Dan sepulangku nanti, aku pun akan langsung menemui Kak Rini."

                              ***

Wajah langit kotaku yang beberapa hari ini muram terus, kini cemerlang kembali. Secerah dan seceria hatiku. Anda tahu sebabnya? Sebabnya siang ini bosku yang cantik akan tiba kembali. Berarti persoalan rumah tangga yang membelitku beberapa hari ini akan segera selesai. Baru saja aku membayangkan hal itu, tiba-tiba ada panggilan telepon masuk. Haah..telepon dari Rini....

"Halo Sayang, bagaimana kabarmu...?" tanyaku penuh semangat.

"Aku baik-baik saja, Mas!" mendengar itu, hatiku serasa melambung tinggi ke langit. Dan kesejukan embun surgawi terasa melumuri jiwa ragaku.

"Puji Tuhan! Kapan bisa kujemput?"

"Sekarang juga, tapi di bandara..."

"Di bandara? Kamu ngapain di sana dan dengan siapa?"

"Pokoknya Mas cepat saja ke sini. Nanti kujelaskan semuanya..."

Sepanjang perjalanan menuju bandara, tak henti-hentinya aku bersyukur dan memuji-muji Tuhan Yesus. Kenapa? Karena suara istriku di telepon tadi, sangat cair dan tak ada nada kemarahan sedikit pun. Berarti prahara yang mencengkeram jiwanya beberapa hari ini, kini sudah berlalu.

"Mas Yoyo...!" panggil istriku, ketika aku sampai ke ruang tunggu. Keruan saja aku berlari ke arahnya. Dan Rini pun berlari ke arahku. Maka berpelukanlah kami erat-erat dalam kebahagiaan yang paripurna.

"Selamat berbahagia ya Kak Rini dan Mas Yoyo!" tiba-tiba saja suara Debora terdengar dari arah belakangku.

Kami pun segera menoleh kepadanya. Selanjutnya dengan cepat Rini dan Debora saling mengedangkan kedua tangannya. Lalu berangkulanlah kedua wanita cantik itu sambil melonjak-lonjak kegirangan persis di depanku.

Aku terkesiap, takjub dan mengarca beberapa saat.

"Terima kasih banyak, Tuhan!"

                                ==(Selesai)==

Bambang Suwarno-Palangkaraya, 2019  

 

                                     

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun