Composer atau Penata Musik pun punya peran vital. Garin selalu menjadikan musik bukan sekadar latar bunyi, tapi narasi itu sendiri. Dalam Opera Jawa, Garin menggandeng Rahayu Supanggah untuk memberikan napas pada gamelan, orkestra, dan vokal. Dalam Setan Jawa (film bisu), ia bekerja sama dengan Tony Prabowo. Musik-musik ini bekerja menjahit cerita, membuat penonton larut dalam musikalitas sekaligus merenung. Setiap denting piano, tabuhan gamelan, hingga alunan vokal menghadirkan resonansi emosional yang memperdalam makna cerita.
Tak kalah penting adalah tim Wardrobe / Costume Designer dan Make-up Artist. Nama-nama seperti Retno Ratih Damayanti kerap dipercaya menggarap busana film Garin, menghidupkan karakter lintas era. Kostum para tokoh melintasi masa kolonial, 70-an, hingga kontemporer, tak hanya menunjukkan gaya busana zamannya, tapi juga menandai perjalanan identitas bangsa. Rias wajah pun berbicara: dari polesan glamor ala diva stamboel hingga kesederhanaan tokoh masa kini, semua menjadi bagian dari bahasa tubuh di layar.
Dengan begitu, film Garin sejatinya adalah hasil orkestrasi kolektif. Ia bukan karya seorang diri, melainkan simfoni banyak tangan. Kru-kru ini, meski tak selalu disebut di panggung publik, justru menjadi ruh yang membuat eksperimen Garin bisa menyentuh indera dan nurani penonton.
Â
Membalut Cinta dan Tragedi
Ironisnya, film ini lahir di tengah suasana sosial-ekonomi yang muram: harga beras naik, listrik mahal, pengangguran meluas. Namun justru di saat seperti itu, bioskop penuh sesak. Orang rela antre tiket. Ada paradoks yang mencolok: ketika ekonomi sengsara, industri hiburan justru ramai.
Mengapa? Barangkali karena film, seperti kata Walter Benjamin, adalah ruang kolektif untuk bermimpi bersama. Menonton Siapa Dia bukan hanya hiburan, melainkan semacam terapi kultural. Kita duduk bersama dalam ruang gelap, menahan napas pada klimaks yang sama, tertawa pada ironi yang sama. Sesaat, kita bukan sekadar individu tercerai, melainkan komunitas yang bermimpi serempak.
Dalam konstelasi perfilman Indonesia, "Siapa Dia?" menempati ruang unik. Ketika banyak film lokal sibuk mengejar pasar dengan genre horor instan atau romansa remaja, Garin memilih jalur lain: musikal yang puitis, reflektif, dan penuh semiotika. Ia tidak melawan arus, tapi juga tidak larut di dalamnya. Ia berdiri di ambang---menghadirkan hiburan yang tetap kritis.
Di sisi sudut ruang ini, Garin menegaskan bahwa sinema bukan sekadar industri, melainkan ruang diskursus publik. Ia menuliskan gramatika tentang bangsa ini lewat cahaya, musik, dan tubuh. Pertanyaan siapa dia? menjelma panggilan eksistensial: siapa kita, dan ke mana kita hendak pergi?
Ketika lampu bioskop kembali menyala, kita keluar bukan dengan jawaban, melainkan kegelisahan. "Siapa Dia?" meninggalkan kita dengan pertanyaan yang terus bergema. Dan mungkin, justru di situlah letak keindahan film ini. Hidup bukan tentang kepastian, melainkan keberanian untuk terus bertanya.