Ada satu nama yang tak pernah bisa dilepaskan dari kata "eksperimen" dalam sejarah film Indonesia: Garin Nugroho. Ia muncul di panggung perfilman lewat "Cinta Dalam Sepotong Roti" (1991), sebuah film yang oleh banyak kritikus disebut memberi 'warna baru' pada sinematografi Indonesia. Saat itu, ketika layar lebar masih dipenuhi pola narasi konvensional dan melodrama, Garin tiba dengan kamera yang berani menatap tubuh, ruang, dan cahaya secara berbeda. Sejak itu, film-filmnya jarang pernah tunduk pada logika pasar---justru memilih menjadi risalah kebudayaan.
Dua puluh tahun lebih Garin terus menggelisahkan kita. Melompat dari satu tema ke tema lain: dari religiusitas (Daun di Atas Bantal), ke sejarah luka bangsa (Soegija), hingga pertanyaan eksistensial manusia di era global (Opera Jawa). Kini, di tahun 2025, Garin kembali hadir mempertanyakan dunianya lewat "Siapa Dia?" --- sebuah film musikal yang sekaligus refleksi sejarah dan cermin diri kolektif bangsa.
Sinema Pasar Festival
Membicarakan Garin Nugroho tidak bisa dilepaskan dari pertanyaan klasik: apakah film-filmnya laku di pasaran, atau justru hanya bergaung di ruang festival? Jika menelisik sejarahnya, sejak debut "Cinta dalam Sepotong Roti" (1991), Garin lebih banyak dikenal sebagai sutradara festival ketimbang sutradara box office. Film tersebut memenangkan Piala Citra dan menggemparkan kritik, tetapi dari sisi komersial, tak bisa menandingi film-film populer bergenre horor atau drama komedi yang kala itu membanjiri bioskop.
Pola ini berulang dalam karya-karya berikutnya. "Daun di Atas Bantal" (1998), yang bercerita tentang anak jalanan dan problem sosial perkotaan, diputar di Cannes dan dipuji luas oleh kritikus internasional. Namun di dalam negeri, film ini tidak mencetak keuntungan besar. Begitu pula "Opera Jawa" (2006), proyek kolaborasi musik-tari-film yang dipesan oleh Vienna New Crowned Hope Festival, lebih banyak beredar di panggung festival seni global daripada menjadi tontonan populer di Indonesia.
Di sisi lain, justru di festival-lah Garin meneguhkan posisinya. "Soegija" (2012), misalnya, dipuji karena berani mengangkat kisah tokoh agama dalam sejarah bangsa. "Kucumbu Tubuh Indahku" (2018) bahkan meraih penghargaan Best Film di Festival Film Indonesia sekaligus mendapatkan pengakuan di Venice dan Busan, walau menuai kontroversi di dalam negeri. Dari sini terlihat jelas: Garin konsisten menjadikan film sebagai ruang diskursus, bukan sekadar hiburan pasar.
Dengan demikian, bisa dikatakan Garin adalah sutradara yang berdiri di persimpangan. Di satu sisi, memahami pentingnya industri film, tetapi di sisi lain sadar betul bahwa sinema punya peran historis dan filosofis. Karya-karyanya kerap 'lebih cocok untuk festival' karena menawarkan bahasa sinema yang eksperimental, reflektif, dan kaya simbol ---sesuatu yang seringkali tidak ramah bagi selera mayoritas penonton Indonesia yang menghendaki hiburan ringan
Justru itulah yang membuat Garin unik. Ia menghadirkan film sebagai seni ekspresif di tengah arus industri hiburan yang serba instan. Penonton mungkin tak selalu memenuhi kursi bioskop untuk karyanya, tetapi pengakuan lintas negara menegaskan bahwa sinema Indonesia punya suara khas yang tak bisa diabaikan. Dalam konteks ini, Garin lebih tepat disebut sebagai "diplomat budaya" lewat medium film, yang menjembatani Indonesia dengan dunia. Maka tidak mengherankan bila dalam karya terbarunya, "Siapa Dia?", Garin sekali lagi meneguhkan posisinya sebagai sutradara yang menolak tunduk pada logika pasar, tetapi tetap berupaya mengajak publik luas bercermin lewat sinema.
Ingatan Layar KoperÂ