#3
Membuat film itu sangat  membutuhkan riset yang mendalam. John Grierson, film maker kelahiran Scotland menyebutkan; film adalah 'creative treatment of reality', perlakuan kreatif terhadap realitas. Meski demikian, sebaiknya jangan lantas terjebak pada kebebasan kreatif dalam mengembarakan imajinasi.Â
Selalu tetap ada aturan main di sana (rule of the game); bahwa ada kewajiban para film maker untuk menampilkan obyektifitas atas realitas subyek yang difilmkan. Meskipun tetap akan menampakkan unsur subyektifitas pada sudut pandangnya masing-masing. Mengapa?
Karena ada unsur kebenaran historis dan kebenaran logis yang harus dipertanggungjawabkan di depan penonton (audience). Apalagi menyangkut realitas obyektif. Oleh karena itu dibutuhkan upaya sistematis untuk mendapatkan, merangkai dan mengalanisa subyek yang akan diangkat dalam film. Caranya?
Riset, survei, observasi, in-depth investigasi reporting tipis-tipis, sambil menyelam minum air biar sekali dua pulau terlampaui. Dolan-dolin memperbarui pengalaman sembari menemukan siapa tersembunyi dalam suratan ingatan yang tertimbun sejarah. Pencarian panjang atas harkat hidup yang berujung di pusara nanti.
Puncaknya bukan sekedar "sebagai" atau "menjadi", sebagaimana pembeda metode antara Boleslavsky dan Stanislavsky, namun perlu juga dilengkapi "being to having" Erich Fromm dengan cara hadir, terlibat dan memiliki.Â
Mengalir jika tak ingin sendiri. Berpartisipasi jika tak ingin tersembunyi. Jadilah arus jika tidak ingin menggenang. Sebab waktu tengah bergegas melesat sampai lupa menyapamu kemarin dulu. Kesia-siaan tertinggal hari ini, tak ada lagi percakapan apapun itu, selain doa yang disemogakan.
Pengalaman empiris, pada akhirnya menjadi periode atau fase yang sesuatu banget dalam proses "being to having", apapun bentuk ekspresi nantinya. Baik dalam kehidupan sehari-hari atau sekedar menjadi refleksi terhadap berbagai kesadaran atas perangai kehidupan ini.
Semisal, pengalaman membaca Mahabharata dan menonton film The Godfather, atau film G30SPKI yang bersetting peristiwa sejarah politik 1965. Ketiganya ternyata memiliki sensasi unikum tersendiri.Â
Persamaan yang tidak memiliki relevansi, tetapi dapat bertemu dalam tafsir imajinatif. Ketiganya mempunyai kesamaan, bercerita tentang: intrik siasat jahat, kekerasan, keterasingan, kekejaman, pembunuhan, perebutan kekuasaan, pengkhianatan, perang, cinta kasih dan zarah.
Uniknya, film The Godfather besutan sutradara Francis Ford Coppola itu, sengaja memasang musik tema (soundtrack) lagu  "Speak Softly Love" yang memiliki impresi romantik dan impulsif kelembutan (setidaknya itu kesan pribadi).Â