Jakarta, 14 Juli 2020. Di beberapa penulisan sebelumnya, berulang kali telah disampaikan bahwa perubahan terus terjadi dan semakin cepat terjadi. Terlepas ada pandemi atau pun tidak, perubahan tetap berlangsung. Setelah pandemi pun akan terus terjadi. Perubahan yang terus menerus terjadi ini lah 'new normal' yang sesungguhnya.
Masih segar di ingatan kita, sebelum pandemi sebenarnya di beberapa industri telah mengalami pemutusan hubungan kerja alias PHK dampak dari disrupsi teknologi. Berapa ribu orang petugas kasir jasa parkir dan penjaga pintu tol telah digantikan oleh mesin.
Lingkungan industri, lingkungan bisnis terus bergejolak, penuh ketidakpastian, sangat rumit, dan membingungkan, serta semakin banyak diwarnai keberagaman.
Salah satu penyebabnya kerena disrupsi teknologi tadi, khususnya teknologi informasi dan selular. Hari ini, hampir setiap orang memegang smartphone atau gadget lainnya. Selama dapat menangkap sinyal yang cukup atau under coverage area, dan memiliki pulsa tentunya, atau pun memperoleh sinyal free-wifi, akan memiliki akses informasi yang sama. Dengan keberagaman latar belakang yang berbeda. Tidak hanya perbedaan suku, ras, agama, antar golongan, bahasa, dialeg, adat istiadat, norma-norma, nilai-nilai sub kultur, dan lain sebagainya. Namun juga terutama latar belakang pendidikan dan generasi yang berbeda-beda. Sehingga menambah variabel perbedaan, dan perbedaannya semakin banyak dan kompleks.
Seringkali disampaikan juga di kesempatan-kesempatan yang ada kepada para senior. Bahwa mereka mulai hari ini harus lebih ikhlas menerima kenyataan faktanya generasi-generasi yang lebih muda memiliki kemampuan berpikir dengan listrik neuron-neuron otak yang lebih cepat.
Hal ini terjadi karena there is an external environmental push yang membuat mereka lebih cepat berdaptasi.
Contohnya saja, anak-anak sekarang berusia 5, 6, atau 7 tahun banyak yang telah memegang gadget. Mereka bisa membuat video dan mengedit video dengan software-software mobile application yang ada bahkan mengunduhnya dari google play store atau apple store, serta mengunggahnya ke youtube, instagram, tiktok dan lain sebagainya.
Padahal mungkin orang tuanya pun tidak mengajari. Harus kita akui bersama; kemajuan teknologi tidak selalu berdampak negatif.
Sebagai orangtua, tanpa melabelkan, kita sebenarnya termasuk digital immigrants yang dituntut mampu berkomunikasi dengan mereka tadi. Digital immigrant adalah mereka yang lahir tidak di era digital, namun dalam perjalanan hidupnya mengarah ke digital. Di mana kita memang dipaksa harus dapat berkomunikasi dengan generasi yang benar-benar native-nya di digital tersebut. Atau dikenal dengan istilah digital natives. Â
Seperti kita ketahui bersama, bila kita merujuk dari negara maju misalkan AS. Ada beberapa cohort generasi. Generasi Tradisionalis, mereka yang lahir sebelum tahun 1946.