Mohon tunggu...
Balya Nur
Balya Nur Mohon Tunggu... Editor - Yang penting menulis. Dah gitu aja

Yang penting menulis. Dah gitu aja

Selanjutnya

Tutup

Politik

[Podcast Imajiner] Dialog Imajiner Bersama Deddy Corbuzier Soal Palestina

31 Mei 2021   08:14 Diperbarui: 31 Mei 2021   08:17 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto mixcloud.com

Podcast Imajiner (PI) : 1 2 3 close the brain. Assalamulaikum, apa kabar Ded? Katanya habis sakit,ya?

Deddy Corbuzier ( DC ) : Walaikum salam. Alhamduliah sehat, ya bulan puasa kemarin memang kebetulan sakit.

PI : Nggak nyangka sih, badan segede dan sesehat ini kok bisa sakit

DC : Nggak gitu juga, Bro. Semua orang pasti merasakan sakit.

PI : Iya juga sih. Dalam tubuh yang sehat belum tentu terdapat pikiran yang sehat,

DC : Kemana nih arahnya?

PI : Hahahaha...Bisa kemana-mana. Begini Ded. Gue mau ngomong soal Palestina nih. Kalau gue perhatiin opini lu soal Palestina, kayanya lu mau menggiring opini dalam tiga hal. Pertama lu ngebet banget ingin mengkampanyekan bahwa soal Isarel- Palestina itu bukan soal Agama. Kedua, lu ingin menggiring opini bahwa Hammas itu adalah teroris. Ketiga, Lu beranggapan kalau misalnya Israel dan Palestina berdamai lu anggap Palestina akan sulit menjadi Negara berdaulat karena akan terjadi "perang "antara Fatah dan Hamas. Gue mau bicara sekitar tiga hal itu saja. Kita bahas satu-satu ya.

DC : Sebentar dulu...itu bukan pendapat gue. Itu kan katra pengamat yang gue undang ke podcast gue.

PI : Udah deh. Kita kan sama-sama podcaster. Kita bebas kok ngundang pengamat yang sesuai dengan selera kita, sesuai dengan opini kita. Lu ngundang pengamat yang nggak banyak dikenal orang. Buat apa coba? Dengan kata lain, kita lempar opini sembunyi mulut.

DC : Hahahahaha...

PI : Kita bahas satu-satu ya. Soal bukan perang agama. Emangnya ada yang bilang perang Palestina-Israel itu perang agama?

DC : Ya pasti adalah.

PI : Siapa?

DC : Begini ya. Secara spesifik mungkin nggak ada. Tapi kan lu tahu, gerakan pro Palestina itu kan kebanyakan dari ormas Islam dan tokoh-tokoh Islam.

PI : Tapi kan ada juga pro Palestina yang non muslim walaupun jumlahnya sedikit.

DC : Iya, gue tahu. Gini deh. Sumbangan buat Palestina dalam waktu beberapa hari saja sudah terkumpul milyaran rupiah. Kalau bukan karena sentimen agama, mana bisa kaya gitu?

PI : Lu pernah denger nggak disklaimernya para aktivis pro Palestina? "Anda Tak Perlu Jadi Muslim untuk Bela Palestina, Cukup Jadi Manusia. "

DC : Nah, itu. Itu kan berarti kampanye bahwa perang Palestina-Israel bukan perang agama.

PI : Iya. Tapi disclaimer itu udah lamaaaa banget, Ded. Lu bangunnya telat.

DC : Tapi kan tetap saja tujuannya sama, Bro.

PI : Oke deh. Kalau gitu lu cuci muka dulu. Gue akuin banyak pribadi tergerak membantu Palestina karena faktor agama. Banyak juga yang karena factor kemanusiaan, banyak juga karena berdasarkan konstitusi kita. Salahnya dimana? Gua paham sih dalam imajinasi lu, kalau karena factor agama akan berbahaya jika menyasar ke dalam negeri. Nggak bakalan,Ded. Kejauhaaaan. Oke deeh. Sekarang yang kedua. Lu bilang, Hammas itu teroris.

DC : Bukan gue yang bilang.

PI : Iya. Pengamat yang lu undang, dan lu berkali-kali bertanya soal keterorisan itu agar lebih meyakinkan pemirsa lu. Kalau ada yang membantu Palestina, lu potong dengan pertanyaan, tapi kan disana ada Hammas.

DC : PBB juga bilang, Hammas teroris kan?

PI : Bukan PBB lah yang bilang gitu. Ya sebut saja sejumlah Negara. Lu tahulah, Israel, Amerika, beberapa Negara Uni Eropa ya semacam itulah karena Hammas memilih berjuang dengan senjata dibandingkan dengan Fatah yang berjuang melalui jalur diplomasi. Tapi begini deh. Sekarang sudah ada gencatan senjata antara Palestina dan Israel, atau boleh dibilang antara Hammas dan Israel. Pertanyaannya, sejak kapan Israel mau berdamai dengan teroris? Sejak kapan Amerika setuju berdamai dengan teroris? Kalau Hammas itu teroris nggak bakal ada genjata senjata, Boss. Mikir.

DC : Iya nanti deh gue pikirin, gue masih sibuk. Hahahahaha

PI : Ketiga, soal Hammas dan Fatah itu soal biasa dalam perjuangan melawan penjajah, Den. Ada yang memilih jalur diplomasi, ada yang memilih kekuatan senjata. Lha pahlawan-pahlawan nasional yang fotonya dipajang di sekolah-sekolah itu kan kebanyakan berjuang dengan kekuatan senjata. Mereka oleh penjajah Belanda disebut Ekstrimis.

Hammas dibentuk tahun 1987. Tergolong baru kalau kita bandingkan dengan sejarah panjang perjuangan bangsa Palestina. Artinya, jalur diplomasi gagal membawa Pelestina merdeka. Kalau nanti Palestina sudah merdeka pasti antara Fatah dan Hammas akan ada jalan keluar agar mereka bisa bersatu membangun Negara mereka.

Lu jangan anggap Hammas nggak mewakili aspirasi rakyat Palestina. Tahun 2006 mereka menang pemilu. Tapi ya gitu deh. Negara-negara yang ngaku kampuin demokrasi nggak mau mengakui. Ya kaya di Mesir gitu lah.

Dalam perjuangn memerdekakan satu bangsa, kekuatan senjata itu pasti dibutuhkan. Lu jangan bandingin dengan Negara kita yang damai ini. Disana itu lagi perang, Ded. Perang.

Ded...Ded... Yaaaaa dia tidur.

1 2 3 close the brain!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun