Mohon tunggu...
Nurul Bayti
Nurul Bayti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Hutang Menggunung, Rakyat Menanggung

3 April 2018   05:11 Diperbarui: 3 April 2018   05:24 1278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
grafis: rumah syariah

Hutang pemerintah RI semakin menumpuk. Menurut data pemerintah, pada akhir Januari 2018 Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia sekitar USD 357,5 miliar atau Rp 5.107,14 triliun. Dari angka tersebut terdapat utang pemerintah dan bank sentral sebesar USD 183,4 miliar, serta utang swasta sebesar USD 174,2 miliar. (merdeka.com/15 Maret 2018:18.08)

Ngomong-ngomong masalah hutang, menjadi sesuatu yang sangat sensitif. Apalagi yang melakukannya negara, dan pastinya jumlahnya sangat besar. Bukan hanya jutaan ato ratusan juta, bahkan angkanya sudah sampai trilyunan sampai ribuah trilyun, wow. Naudzubillah

Paradigma Hutang

Layaknya keinginan untuk memenuhi kebutuhan perorangan atau rumah tangga, berhutang dalam pandangan orang era now, menjadi sesuatu yamg wajar dan biasa, bahkan ada yang mengatakan kalau gak berhutang, gak akan semangat untuk hidup. Astaghfirullah

Hutang sebagai penyemangat hidup? Paradigma sangat salah ini, rupanya banyak menjangkiti cara berpikir masyarakat, bahkan sudah menjadi hal wajar dalam dunia perbisnisan. Ketika masyarakat membutuhkan dana instan, alhasil banyak lari mengambil solusi hutang. Ketika anak butuh sekolah, hutang menjadi jalan keluar bagi kebanyakan orang. 

Butuh modal tambahan, hutang pun menjadi cara "terbaik" bagi mereka yang ingin mengembangkan usahanya. Sehingga bisa dikatakan, inilah mungkin bagi masyarakat kebanyakan yang memandang dengan hutang, jadi semangat. Iya jelas, semangat untuk mengembalikannya. Yang awalnya malas-malas bekerja, dengan hutang, lantas kepikiran untuk segera mengembalikan. Apalagi kalau dalam berhutang, ada "bunga" dan dendanya. 

Bisa dipastikan, malah lebih "semangat". Semangatnya berlipat ganda, karena takut kena denda. Iya kalau pas bisa bayar, akan tenanglah hati sang penghutang. Bagaimana kalau sudah bokek, untuk makan pun susah, bahkan makan pun dari hasil hutang. Mau membayar dengan apa? Apa tidak malah semakin pusing, bahkan ada yang justru mengakhiri hidupnya karena tidak sanggup membayar hutang. Naudzubillah

Lantas kalau paradigma ini juga menjangkiti negara. Ketika negara membangun ekonomi rakyatnya melalui modal hutang. Negara membangun sarana infrastruktur juga dari modal utang. Bahkan paradigma salah yang selalu digaungkan para penjaja ekonomi neoliberal, bahwa Indonesia tidak akan mampu mebangun negeri, kalau tidak berhutang. 

Dan serasa ini diaminkan oleh para pejabat negara, buktinya mereka bukannya mencari cara untuk segera menutup hutang-hutang tersebut, tapi malah memperbanya hutang-hutang baru. Alhasil ya hutang akan diturunkan sampai ke anak cucu.

Meluruskan Persepsi yang Salah

Pilihan terhadap suatu amal/perbuatan, ditentukan oleh persepsi/pemahaman seseorang. Ketika persepsinya benar, akan berdampak pada pengambilan perbuatan yang benar. Demikan pun sebaliknya, ketika persepsi dibangun secara salah, alhasil akan mengambil tindakan yang salah juga. Termasuk dalam berhutang. 

Bagi individu, ketika berhutang dianggap sebagai penyemangat hidup. Dampaknya banyak orang yang mengambil hutang, sesuai dengan anggapan mereka. Untuk menyemangati hidup. Namun ketika individu itu membangun perbuatannya atas persepsi yang benar, bahwa hutang akan dilakukan ketika kondisi "terpaksa" maka mereka tidak akan memaksakan diri untuk berhutang. Kadang terpaksa dalam kacamata induvidu berbeda-beda.

 Nah inilah yang harus disamakan, bahkwa terpaksa maknanya ketika tidak berhutang akan menghantarkan pada kondisi antara hidup.dan mati.

Nah, bagaimana kalau yang berhutang pihak negara. Cara berpikir benar, seharusnya dimiliki oleh penguasa. Jangan membangun amal, atas persepsi. Apalagi membuat kebijakan atas pijakan persepsi. Ketika mengatakan bahwa Indonesia tidak akan bisa membangun sarana dan infrastrukturnya kalau tidak berhutang. Ini adalah persepsi. 

Akan sangat keliru, ketika persepsi ini membuahkan kebijakan dengan memperbanyak hutang, bahkan berhutang untuk kebutuhan jangka panjang. Padahal hutangnya negara selalu "berbunga" dan jumlah hutangnya sampai ribuan trilyun, lantas berapa bunganya yang harus dibayar setiap bulan? Pasti angkanya sangat fantastis.

Menyibak Hutang = Modus Intervensi

No free lunch, tidak ada makan siang gratis. Semboyan ini serasa biasa dalam kehidupan demokrasi ini. Apalagi dalam hal bantuan (baca : hutang). Bahkan menumpuknya hutang sampai tidak terkendali, menjadi alat jitu bagi negara yang menghutangi untuk ikut campur dalam urusan dalam negeri. 

Iya, hutang bisa menjadi modus untuk intervensi bahkan modus penjajahan ekonomi suatu negara. Banyak kebijakan-kebijakan negara yang diambil karena intervensi. Kebijakan menaikkan pajak, dampak dari hutang negara. Kenaikan BBM, ini juga dampak dari utang. Dan kebijakan-kebijakan lainnya yang dibuat negara, semata untuk menggenjot APBN negara. Ketika negara ini kaya, kenapa harus berhutang? Ketika negera ini sumberdayanya melimpah, kenapa mau untuk hutang?

Dalam islam hutang tidak akan dilakukan ketika negara memiliki kekayaan alam yang melimpah. Negara akan mengatur masalah kepemilikannya dan pengelolaan kepemilikan. Ada tiga macam  kepemilikan dalam Islam : kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. 

Membiarkan individu untuk memiliki barang yang boleh dimiliki oleh individu secara syariat. Adapun kepemilikan umum, menjadi milik umum (milik rakyat) yang pengelolaanya dilakukan oleh negara. Barang/sumberdaya alam yang menjadi milik umum, tidak boleh dikuasai oleh individu/kelompok, baik perusahaan swasta atau luar negeri. Kepemilikan negara, menjadi kewajiban negara untuk mengelolanya.

Hutang menumpuk, rakyat kena timpuk. Hutang menggunung, rakyat yang menanggung. Hakekat hutang yang dilakukan oleh negara, ya rakyat pastinya yang menanggungnya. Kalaupun alasan negara ketika berhutang untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, ini alasan semu. 

Alasan yang mengada-ada. Karena realitanya, rakyat malah menanggung beban hutang itu. Rakyat malah tambah terhimpit, akibat hutang yang melangit. Sebagai solusi atas permasalah hutang, iya kembali kepada sistem yang shohih yaitu sistem Islam yang menyejahterakan rakyat.wallahu a'lam

tangkapan layar indonesiabertauhid (instagram)
tangkapan layar indonesiabertauhid (instagram)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun