Karena jarak antara kantor dan kos yang lumayan tanggung, saya memberlakukan sistem shift dalam perjalanan ke kantor. Maksudnya? Ya begini, kalau berangkat kerja alias shift pagi, saya naik angkot. Kalau pulang kerja alias shift sore, saya jalan kaki. Sebenarnya sih dari kecil saya sudah terbiasa berjalan kaki. Jarak yang harus saya tempuh dari kos ke kantor bukan masalah buat saya apalagi medan jalan juga bagus. Tetapi karena pertimbangan di pagi hari sinar mentari sudah mulai agak menyengat padahal saya termasuk orang yang mudah berkeringat ditambah saya berangkat bersama teman saya, saya memutuskan untuk naik angkot saja. Nggak lucu kan kalau sampai kantor bau keringat?
Sampai saat ini, tidak ada yang berkesan dari perjalanan menuju kantor. Toh saya hanya meletakkan pantat di bangku angkot dan wussss....beberapa saat kemudian angkot sudah berhenti di tempat tujuan. Yang agak sedikit membutuhkan perjuangan paling ketika harus menyeberang jalanan yang sepertinya tidak pernah sepi dari kendaraan yang melaju. Nah, di perjalanan pulang barulah saya bisa mengamati banyak hal, mulai dari bangunan apa saja yang ada di sepanjang jalan sampai para joki yang setiap pagi dan sore tak lelah menanti pelanggan di pinggir jalan. Dulu sewaktu baru saja pindah ke sini, saya sempat mengira mereka itu orang-orang yang menunggu angkot, eh ternyata mereka ya memang orang yang sedang menunggu angkot, tapi angkotnya pintu tertutup dan nggak bayar. Hahaha...
Nah, di sinilah saya menyaksikan satu pengalaman yang cukup menyentak kesadaran saya. Dua hari yang lalu, ketika saya dalam perjalanan pulang, saya melihat sebuah kejadian yang tidak biasanya. Ketika saya berjalan di antara para joki, di jalan raya yang terhampar di samping kanan saya ada dua orang wanita yang sedang mengejar-ngejar seorang anak lelaki tanggung. Bukan karena anak itu pencopet yang perlu dikejar. Bukan pula karena anak itu lari dari rumah. Bukan pula karena anak itu mengganggu. Mbak-mbak itu mengejar anak itu karena ingin memberikan uang sebagai imbalan atas sesuatu. Saya tidak pernah tahu apa yang sudah dikerjakan oleh anak itu. Perkiraan saya anak itu sudah membantu mbak-mbak itu untuk menyeberang jalan. Tapi yang pasti anak itu menghindar untuk menolak.
Biasa saja? Tidak. Menurut saya tidak. Mungkin biasa saja kalau ini di perkampungan atau di situasi lain. Yang membuat kejadian itu tidak biasa dan terasa ironis adalah itu terjadi di tengah-tengah para joki yang sedang menunggu pelanggan. Di tengah para joki yang rela berdiri berjam-jam untuk beberapa ribu perak, anak itu menolak uang yang sudah ada di depan mata. Ternyata di tengah semangat untuk mencari uang demi sesuap nasi, semangat menolong tanpa pamrih tidak serta merta padam. Dalam perjalanan pulang, hati saya disentuh oleh ketulusan seorang anak dalam menolong sesamanya di tengah belantara Jakarta ini.
Saya jadi teringat pada status salah satu teman saya di Facebook beberapa hari yang lalu. Statusnya berbunyi "Ternyata masih ada orang ramah di Jakarta." Wah, berarti Jakarta memang sudah terkenal sebagai kota yang dengan keras menempa para panghuninya meski image itu tidak pernah menyurutkan niat ribuan para pencari kerja yang ingin mengadu nasib di Jakarta. Tapi, di celah-celah kehidupan di kota yang keras ini, ternyata saya dan teman saya masih bisa menemukan kebaikan dan ketulusan. Bagaimana dengan Anda?