Mohon tunggu...
Oktavian Balang
Oktavian Balang Mohon Tunggu... Jurnalis - Kalimantan Utara

Mendengar, memikir, dan mengamati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Pengaruh Agama Kristen Terhadap Perubahan Budaya Tato dan Telinga Panjang di Kalimantan Utara

16 Maret 2024   12:46 Diperbarui: 19 Maret 2024   01:36 2806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Telinga Panjang, Lem Dungau (Dokpri)

Pendahuluan

Kalimantan Utara, sebuah wilayah yang kaya akan keberagaman budaya dan tradisi, telah menjadi medan bagi interaksi yang kompleks antara agama dan budaya lokal. Di tengah lanskap ini, masyarakat Dayak Kenyah menonjol sebagai kelompok etnis yang mempertahankan warisan budaya mereka dengan penuh kebanggaan. Namun, seperti di banyak tempat di seluruh dunia, pengaruh agama telah memainkan peran penting dalam mengubah dan membentuk pola pikir serta praktik budaya di antara masyarakat ini.

Dalam tulisan ini, kita akan menelusuri perubahan budaya yang terjadi di kalangan masyarakat Dayak Kenyah, khususnya terkait dengan praktik tato dan tradisi telinga panjang. Penelusuran ini akan difokuskan pada pengaruh agama Kristen, yang telah menjadi agama mayoritas di wilayah ini, terhadap perubahan-perubahan tersebut.

Perubahan budaya yang terjadi tidak hanya mencerminkan adaptasi terhadap perubahan sosial dan lingkungan, tetapi juga mencerminkan kompleksitas dalam interaksi antara agama dan tradisi lokal. Dalam konteks ini, kita akan menyelidiki bagaimana agama Kristen telah mempengaruhi praktik tato dan telinga panjang, yang sebelumnya merupakan bagian integral dari identitas budaya masyarakat Dayak Kenyah.

Melalui pemahaman yang lebih dalam tentang dinamika ini, diharapkan kita dapat menggali akar-akar perubahan budaya dan menangkap subtan pertentangan serta harmoni antara agama dan budaya lokal. Dengan demikian, tulisan ini tidak hanya mengeksplorasi perubahan budaya di tingkat lokal, tetapi juga menyumbang pada diskusi lebih luas tentang kompleksitas interaksi antara agama dan budaya dalam masyarakat multikultural.


Desa Sungai Urang

Lamin Adat Sungai Urang (Dokpri)
Lamin Adat Sungai Urang (Dokpri)

Sungai Urang merupakan RT 10 di Keluarahan Tanjung Palas Hilir, Kabupaten Bulungan Kalimantan Utara. Dahulunya sungai urang merupakan lahan yang dijadikan masyarakat sebagai tempat berladang. Dinilai strategis untuk berladang, ahkirnya mereka berinisiatif untuk menjadikan sebuah RT. Awal pembentukannya diperkirakan pada 1965.

Berdasarkan cerita masyarakat, Suku Dayak Kayan merupakan penghuni pertama di RT 10, Sungai Urang. Dahulunya dinamakan Sungai Uleng, Uleng dalam bahasa Kayan ialah Duri. Karena ada perubahan zaman, penamaan tersebut berganti menjadi Sungai Urang yang digunakan hingga saat ini.

Berlin, seorang kawan menghubungi penulis melalui pesan singkat. Ia bercerita jika di desanya masih ada  "Telinga Panjang dan Bertatto". Sebagai tuan rumah yang baik,  ia merincikan letak rumah si "Telinga Panjang" yang berdekatan dengan rumah adat Desa Sungai Urang.

Kondisi jalanan menuju Desa Sungai Urang (Dokpri)
Kondisi jalanan menuju Desa Sungai Urang (Dokpri)

Untuk mencapai desa tersebut, penulis  menempuh perjalanan darat dari Tanjung Selor ke Sungai Urang selama 30 menit. Layaknya anak tiri, desa ini masih minim infrastruktur, salah satunya kondisi jalannya yang sangat memprihatinkan.

Perkenalan

Topi Tradisional Dayak (Dokpri)
Topi Tradisional Dayak (Dokpri)

Pintu rumah coklat berbahan kayu itu terbuka, terlihat seorang perempuan berambut lurus berkulit kuning langsat melempar senyuman kepada penulis.

"Permisi ibu, perkenalkan saya Okta, bolehkah saya mendokumentasikan "Telinga Panjang" informasi ini saya dapat dari Berlin," Ucap penulis.

Dengan ramah, perempuan berbaju merah (Iyung Uyang, anak Telinga Panjang) mempersilahkan penulis untuk masuk ke dalam rumahnya.

"Sebentar ya, mamak saya masih makan." Terangnya tuan rumah.

Sejumlah topi tradisional berwarna warni terpajang rapi pada dinding rumah tersebut. Topi yang mirip caping itu bernama Seraung/saung. Topi itu biasa digunakan sebagai pelindung kepala saat acara kebudayaan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Tak lama berselang, "Telinga Panjang muncul dari bilik gorden, sebuah ikatan dari manik melingkar di kepalanya. Terlhat tatto memenuhi pergelangan kaki dan tangannya.

Seorang tamu yang juga kerabat dari "Telinga Panjang" berceletuk,

"Kalau mau dokumentasi, beliau biasanya dibayar, itu untuk biaya pengobatan dia," Ungkap Emi.

Tatto, Simbol Keturunan Bangsawan

Lem Dungau (Kiri) bersama Emi (Kanan) (Dokpri)
Lem Dungau (Kiri) bersama Emi (Kanan) (Dokpri)

Nenek "Telinga Panjang dan Bertato" itu bernama Lem Dungau, ia merupakan masyarakat Uma Baha yang merupakan sub suku dayak Kenyah.

Diketahu, Lem Dungau tidak begitu fasih berbicara dalam bahasa Indonesia, namun hal tersebut bukanlah menjadi kendala. Dalam menggali informasi, penulis sangat terbantu oleh Emi dan Iyung Uyang yang bertugas penerjemah bahasa. Penulis menilai, Emi memiliki pengetahuan luas terkait tato lantaran ibunya juga memiliki tato seorang paren. 

Tato pada pergelangan kaki Lem Dungau (Dokpri)
Tato pada pergelangan kaki Lem Dungau (Dokpri)

Kepada penulis Emi menjelaskan, perempuan yang memiliki tatto garis 4 yang melingkar di kaki merupakan "Darah Biru" atau Paren. Peren atau bangsawan merupakan kelas sosial dalam masyarakat Dayak Kenyah. Seseorang dapat dikatakan paren jika ia memiliki harta kekayaan, berani melindungi desa dari serangan musuh, serta berhasil membawa kepala musuh dalam ekspedisi ngayau (Berburu kepala manusia).

Tatto bergaris empat hanya diperuntukkan bagi keturunan bangsawan. Sebaliknya, masyarakat yang bukan keturunan tidak boleh menggunakan ukiran milik bangsawan. Jika dilanggar maka dikenakan denda adat. Bagi masyarakat suku dayak kenyah, tatto bangsawan memiliki motif dan gambar yang istimewa dari lainnya.

Tato di Tangan Lem Dungau (Dokpri)
Tato di Tangan Lem Dungau (Dokpri)

Bagi perempuan keturunan paren, sangat dianjurkan memiliki tato, dalam pembuatannya pun dipasang tarif. Terdapat pantangan dalam pembutan tato, namun Emi enggan membahasnya secara spesifik.

Pada usia 17 tahun, Lem Dungau bersama para perempuan bangsawan lainnya dikumpulkan dalam satu pondok untuk menjalani proses tatto. Wanita paren akan dibuatkan pondok khusus. Pembuatan tato didalam rumah tidak diperbolehkan.

Seorang dukun menjadi penanggung jawab dalam prosesi tersebut, ia akan menyediakan motif khusus untuk perempuan bangsawan tersebut. Selain membuat tato, dukun juga membaca mantra aga tato yang ia buat tidak busuk. Sejumlah pantangan wajib di jalani dalam pembuatan tato, jika melanggar, diyakini tato tersebut tidak akan jadi. Dari motif tato dapat menjadi pembeda, antara perempuan keturunan bangsawan atau bukan.

Proses pembuatan tato memakan waktu selama dua hari. Lem Dungau mengaku kesakitan dan hampir menyerah, terutama saat pembuatan tato di paha. Kala itu, proses pembuatan tato masih menggunakan cara tradisional, yang mana peralatannya kayu sepanjang 30 cm, yang ujungnya terdapat sebuah jarum. Sudah pasti terbayang rasa sakit yang dirasakan oleh Lem Dungau.

"Sakit," Celetuk Lem Dungau.

Emi (Kanan) mendampingi Lem Dungau (Kiri)
Emi (Kanan) mendampingi Lem Dungau (Kiri)

Pengaruh Agama Kristen

Lem Dungau (Dokpri)
Lem Dungau (Dokpri)

Lem Dungau merupakan generasi terahkir "Telinga Panjang dan Tato". Hal itu disebabkan masuknya agama kristen ke pedalaman Kalimantan. Sebelum memeluk agam kristen protestan, Lem Dungau dahulunya menganut kepercayaan Bungan Malan.

Kepercayaan Bungan Malan adalah bentuk kepercayaan tradisional yang dipraktikkan oleh suku-suku Dayak di Kalimantan, termasuk suku Dayak Kenyah yang merupakan salah satu kelompok etnis di Kalimantan Utara. Hal ini mengacu pada serangkaian kepercayaan, ritual, dan tradisi yang berkaitan dengan kesejahteraan, kesuburan, dan hubungan dengan alam semesta.

Kepercayaan Bungan Malan melibatkan berbagai praktik spiritual dan keagamaan yang dijalankan oleh para pemuka adat atau dukun dalam masyarakat Dayak. Ritual-ritual ini sering kali melibatkan pemujaan terhadap roh-roh leluhur, penghormatan terhadap alam, dan upacara-upacara yang bertujuan untuk memperoleh berkah dan perlindungan dari kekuatan gaib.

Meskipun kepercayaan Bungan Malan telah lama menjadi bagian integral dari budaya dan identitas suku Dayak, seiring dengan masuknya agama-agama dunia seperti Kristen, Islam, dan lainnya, banyak anggota masyarakat Dayak yang beralih ke agama-agama tersebut dan meninggalkan praktik-praktik kepercayaan tradisional seperti Bungan Malan. Hal ini merupakan salah satu contoh dari perubahan budaya yang terjadi di kalangan masyarakat Dayak, di mana pengaruh agama memainkan peran penting dalam mengubah pola pikir dan praktik kehidupan sehari-hari mereka.

Setelah masuknya agama kristen, tradisi unik tersebut mulai ditinggalkan karena hal tersebut bertentangan dengan alkitab. Tradisi Telinga Panjang dan tato dinilai tidak relevan dengan agama tersebut.

Dalam Alkitab tidak memberikan perintah atau larangan yang eksplisit tentang tattoo. Ada beberapa ayat yang sering dikutip sebagai dasar untuk menentang atau mendukung tattoo, tetapi ayat-ayat tersebut harus dipahami dalam konteks sejarah, budaya, dan teologisnya. Salah satu ayat yang sering digunakan sebagai argumen melawan tattoo adalah Imamat 19:28, yang berbunyi:

Janganlah kamu menggoreskan tubuhmu karena orang mati dan janganlah merajah tanda-tanda pada kulitmu; Akulah TUHAN.

Ayat ini tampaknya melarang orang Israel untuk membuat tanda di kulit mereka, yang mungkin termasuk tattoo. Namun, ayat ini harus dilihat dalam kaitannya dengan praktik penyembahan berhala di Kanaan, yang melibatkan penggoresan tubuh sebagai bentuk penghormatan kepada dewa-dewa atau orang mati.

Tuhan ingin membedakan umat-Nya dari bangsa-bangsa lain yang melakukan hal-hal itu. Jadi, larangan ini lebih berkaitan dengan aspek religius daripada estetis.

Selain itu, kita harus ingat bahwa Imamat 19 adalah bagian dari hukum Taurat, yang diberikan kepada orang Israel sebagai perjanjian lama. Hukum Taurat mencakup berbagai peraturan tentang ibadah, moral, sosial, dan kesehatan, yang bertujuan untuk menjaga kesucian dan keselamatan umat Allah. Namun, hukum Taurat tidak lagi berlaku bagi orang Kristen, yang hidup di bawah perjanjian baru dalam Kristus. Yesus telah memenuhi hukum Taurat dan memberikan hukum baru, yaitu hukum kasih (Matius 5:17--20; 22:34--40; Galatia 3:23--29).

Lem Dungau menjelaskan, pembuatan telinga panjang dilakukan ketika ia masih bayi. Saat berapa hari keluar dari perut, anak perempuan telinganya dilubangi kemudian telinga diberi sejumlah pemberat. Dalam hal ini, ia memiliki alasan unik untuk tidak memotong telinganya karena telinga tersebut memiliki kenang-kenangan dari orang tuanya. Dengan nada gurau, Lem Dungau mempertanyakan tato yang penulis miliki.

Penulis memiliki pendapat pribadi soal tato karena terinspirasi oleh masyarakat Dayak yang setia mempertahankan adat istiadat nenek moyang. Ia menyarankan agar penulis mendatangi Desa Tras Nawang dan Tras Baru karena desa tersebut masih memiliki sejumlah wanita yang bertelinga panjang dan bertato. Ia mengaku telinga panjang merupakan hal yang langka dilihat. Untuk di Sungai Urang, telinga panjang hanya dimiliki oleh nenek Lem Dungau.

Penulis (Kiri) bersama Lem Dungau (Kanan) (Dokpri)
Penulis (Kiri) bersama Lem Dungau (Kanan) (Dokpri)

Penutup


Dalam eksplorasi ini, penulis telah menyoroti kompleksitas perubahan budaya yang terjadi di Kalimantan Utara, khususnya di kalangan masyarakat Dayak Kenyah, terkait dengan praktik tato dan tradisi telinga panjang. Dengan memahami interaksi antara agama Kristen dan budaya lokal, penulis  melihat bagaimana dinamika ini memengaruhi pola pikir dan praktik kehidupan sehari-hari masyarakat.

Pengaruh agama Kristen terhadap perubahan budaya tidak dapat disangkal. Namun, perubahan ini juga mencerminkan pertentangan dan harmoni antara agama dan budaya lokal. Di tengah-tengah proses ini, tradisi dan nilai-nilai budaya tetap mempertahankan tempatnya, meskipun mungkin mengalami transformasi.

Dengan menghormati warisan budaya yang kaya dan sensitivitas terhadap perubahan yang terjadi, kita dapat memperluas pemahaman kita tentang kompleksitas masyarakat multikultural. Kami berharap tulisan ini dapat menjadi kontribusi kecil dalam upaya memahami dan menghargai keragaman budaya yang menjadi kekayaan Kalimantan Utara dan Indonesia pada umumnya. Terima kasih telah mengikuti perjalanan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun