"Kami ke warkop,"
Saya mengangguk.
Adik-adik tingkat saya dengan penuh tawaan pergi meninggalkan kosan yang sunyi. Saya membuka laptop. Buka bab 1, loncat ke bab 5.Â
Ini sudah selesai.Â
Harusnya!Â
Saya mengaduk kopi di dapur yang tak ada kompor. Air dingin saya campurkan dengan bubuk kopi. Diaduk paksa. Ampasnya masih membekas. Saya seruput.
Pahit!
Toh, tak ada gula di kosan ini. Makanya semutpun enggan bermigrasi ke kosan kami yang lapuk. Tetapi, kata orang kopi pahit itu bagus untuk kesehatan. Katanya!Â
Saya malah merasakan tidak mengantuk sampai pagi hari. Saat penghuni kosan pulang di jam 12 malam, atau jam 2 dini hari, saya masih terjaga. Saat satu persatu dari mereka terlena dalam mimpi indah di awal semester begitu, mata saya menyala bagai matahari yang menyinari Bumi untuk menghidupi segenap kehidupan di sini.Â
Saya terjaga. Merana. Karena secangkir kopi.Â
Bukan.