Mohon tunggu...
Muhammad Baiquni
Muhammad Baiquni Mohon Tunggu... -

Nama saya Muhammad Baiquni, terlahir sebagai anak terakhir dari 3 bersaudara yang berarti saya anak ke empat dan satu-satunya anak lelaki di keluarga saya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Namaku Kathmandu

10 Mei 2011   19:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:52 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Aku dengar, Tuhan ada di puncak tertinggi dunia. Di negeri ini! Aku ingin membuktikan hal tersebut.” Katanya cepat, terburu. “Kau harus temani aku untuk membuktikannya!”

“Tidak mungkin, pasti orang yang berkata padamu itu bohong,” aku tak percaya.

“Terserah!” Mukanya menegang. “Kau cuma harus temani aku.”

Saat itu, aku tiada punya kuasa untuk menolak. Entah takdir buruk apa yang menimpaku, akhirnya aku menyetujui tentang ide perjalanan ke puncak gunung ini untuk bertemu Tuhan. Aku selalu menduga, kalau pun Tuhan ada di balik gunung-gunung, Dia cuma ada di Sina. Tempat ketika Dia menampakkan diri dalam wujud api kepada Musa. Bukan di Himalaya.

Aku dan Aini telah ada di puncak gunung Himalaya. Dan aku cuma terdiam mematung memperhatikan tingkah anehnya. Dia berlompat-lompat memanggil nama Tuhannya. Beribu kali sudah dia memanggil nama “El” tetapi tiada sahutan apa-apa di langit sana. Langit tetap biru, dan sekelilingku tetap dingin dengan tanah yang ditutupi salju.

“Kathmandu! Teriakkan nama El sekeras yang engkau bisa. Teriak!”

Aku tidak ingin sirik. Aku pun mulai meneriakkan nama Tuhan, namun dengan bahasa dan nama yang aku percayai. Entah gubahan hati yang bagaimana, tiba-tiba aku terserang rasa rindu yang teramat sangat setelah nama Tuhan pun aku rapalkan ribuan kali. “Tuhan! Tuhan! Tuhan!”

Aku pun memanggil nama Tuhan dengan 99 nama yang aku tahu dan aku hapalkan. Berteriak. Berteriak. Berteriak. Entah suasana yang bagaimana, aku menjadi teramat rindu. Teramat rindu. Teramat rindu. Teramat rindu. Susah aku jabarkan bagaimana luapan rasa rindu yang berhimpun di dadaku.

Aku terus memanggil Tuhan, bahkan rindu membuat air mataku berlimpah. Aku yang tidak percaya entah bagaimana seperti mulai percaya. Hatiku berkata, akan datang Tuhan hari ini, di depanku, di puncak gunung ini. Dan perasaan itu semakin dekat.

Kemudian tiba-tiba langit pun mendadak lebih cerah dari semula. Saat itu aku seperti merasakan berada di dalam kumpulan cahaya. Cahaya yang sama terang seperti bertahun silam aku saksikan di kamar guruku. Cahaya yang begitu hangat lagi menentramkan. Aku yang dipenuhi oleh kerinduan.

Lalu langit seolah mulai terbuka. Dari atas sana, muncul burung-burung aneh dengan mata seperti kucing, indah, liar. Tubuh mereka kokoh, dan paruh mereka runcing dan tajam. Warna mereka hitam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun