Mohon tunggu...
Muhammad Baiquni
Muhammad Baiquni Mohon Tunggu... -

Nama saya Muhammad Baiquni, terlahir sebagai anak terakhir dari 3 bersaudara yang berarti saya anak ke empat dan satu-satunya anak lelaki di keluarga saya.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Namaku Kathmandu

10 Mei 2011   19:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:52 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Guruku tersenyum, “Ya!”

“Kalau begitu, pintalah sebuah mukjizat kepada Tuhan. Aku ingin engkau bisa terbang sekarang juga.”

Semua murid melihatku. Aku tidak peduli. Semua murid melihatku. Aku tidak peduli. Semua murid melihatku. Aku tahu apa yang ada di dalam hati mereka, tentu mereka dengki, pastilah mereka sinis dengan kelancanganku terhadap guru. Seperti awal aku katakan, aku tetap tidak peduli.

Guru tertawa. Terbahak dengan nyaring sampai aku bingung. Kenapa dia tertawa?

“Apa pentingnya sebuah mukjizat?” tanyanya dengan senyuman ramah. “Tuhan tidak butuh semua mukjizat, cuma manusia bodoh yang membutuhkan. Makanya Tuhan memberikan mukjizat kepada para nabi agar kaum mereka yang bodoh percaya tentang suatu kuasa di luar kekuasaan mereka.

“Dan kau tentu bukan orang yang bodoh bukan?” Guruku tersenyum aneh.

Aku memang terkadang angkuh, namun seperti tersihir, aku termakan perangkap guruku. Aku yang tidak peduli dengan semua orang mulai aneh, aku takut mereka menganggapku bodoh.

“Untuk apa mukjizat, jika aku adalah mukjizat itu sendiri?” Guruku melanjutkan bualannya. Lalu kemudian tertawa. Kemudian semua murid ikut tertawa, kecuali aku.

Pada suatu malam, ketika aku mulai bosan dengan segala tingkah guruku yang terlalu sering membual itu. Yang tidak malu berbohong telah mendapatkan nama Tuhan yang keseratus — entah memang ada pikirku, saat itu aku hendak buang air kecil. Ketika sudah selesai dan hendak kembali, aku terlihat kamar guruku. Kamar itu terang sekali, begitu bercahaya. Takut-takut, dengan kaki berjinjit, aku mendekati kamar guru. Saat itu aku terkesima. Guruku ternyata bukan pembohong. Saat itu aku melihat, dia bersujud di tanah, namun tidak menyentuh tanah. Dia melayang. Terbang.

Mulai malam itu aku mengubah semua persepsiku terhadap guru. Semua wejangannya aku ikuti, aku turuti. Semua kata dari lisannya aku catat dengan seksama. Semua murid heran. Aku tidak peduli. Dan guruku sepertinya mahfum, dia lebih sering tersenyum kepadaku, dan sering menepuk pundakku.

Dari cerita guruku tentang 99 nama Tuhan, juga tentang nama yang keseratus. Aku menjadi percaya, bahwa Tuhan tidak cuma disebut dengan satu nama. Kita semua boleh memanggilnya dengan nama apa saja. Dan Tuhan mengajari kita dengan beberapa nama agar kita mencintainya lewat nama-nama itu. Agar kita menjadi kesatuan dengan setiap nama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun